Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Sebut Krisis Timur Tengah Bisa Picu Konflik Terbuka hingga Indo-Pasifik

Menteri Luar Negeri Sugiono memperingatkan bahwa situasi krisis yang terjadi di Timur Tengah saat ini bukan hanya berdampak lokal.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Sugiono raker dengan Komisi I DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025)/Bisnis-Annisa Nurul Amara
Menteri Luar Negeri (Menlu) Sugiono raker dengan Komisi I DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025)/Bisnis-Annisa Nurul Amara

Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Luar Negeri Sugiono memperingatkan bahwa situasi krisis yang terjadi di Timur Tengah saat ini bukan hanya berdampak lokal, tetapi juga dapat memicu meningkatnya ketegangan dan konflik terbuka di berbagai belahan dunia, termasuk kawasan Indo-Pasifik.

“Timur Tengah saat ini berada di titik krisis dan sekali lagi kita tidak menutup mata, dan jika situasi ini tidak dikelola dengan baik maka rivalitas geopolitik yang makin meruncing dan semakin membuka ruang bagi konflik terbuka di berbagai belahan dunia termasuk di kawasan Indo-Pasifik itu bisa akan makin meningkat suhunya,” ujarnya saat rapat kerja bersama DPR Komisi I, Senin (30/6/2025).

Lebih lanjut, dia menegaskan, kondisi ini tentu menjadi sesuatu yang tidak diharapkan oleh seluruh pihak, baik secara regional maupun global.

Sugiono juga menekankan pentingnya peran diplomasi internasional dan kerja sama lintas negara untuk meredam ketegangan serta mencegah eskalasi lebih lanjut yang bisa mengguncang stabilitas global.

“Tentu saja sesuatu yang sama-sama tidak kita inginkan,” pungkas Sugiono.

Sebelumnya, Institute for Development of Economics and Finance alias Indef memperingatkan bahwa eskalasi konflik militer antara Iran dan Israel dapat berdampak serius terhadap ekspor Indonesia, terutama ke kawasan Timur Tengah dan Eropa.

Peneliti Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Indef Ahmad Heri Firdaus menjelaskan bahwa kawasan Timur Tengah berperan sebagai jalur penting perdagangan global, khususnya dalam pengiriman barang dari Asia ke Eropa. Potensi terganggunya jalur logistik, seperti Selat Hormuz, akan mendorong lonjakan biaya pengapalan dan mempersulit akses ekspor Indonesia ke negara-negara tujuan.

"Kalau Selat Hormuz terganggu, ekspor Indonesia ke Timur Tengah dan Eropa bisa terdampak langsung. Logistik jadi mahal, dan pasokan pun terhambat," ujar Heri dalam diskusi publik Indef secara daring, Minggu (29/6/2025).

Meski secara agregat porsi ekspor Indonesia ke Timur Tengah tergolong kecil, yaitu sekitar 4,6% dari total ekspor nasional, dampak tidak langsung dari konflik tetap patut diwaspadai. Menurut Heri, kawasan tersebut merupakan hub logistik penting yang menghubungkan pasar Asia, Eropa, dan Afrika.

Selain Timur Tengah, ekspor ke Eropa juga berpotensi terdampak karena ketergantungan terhadap jalur laut yang melewati wilayah konflik.

Jika jalur perdagangan terganggu, maka biaya logistik akan melonjak, terutama untuk pengiriman ekspor ke kawasan yang melewati jalur Teluk dan Laut Merah. Hal ini akan berdampak langsung pada daya saing produk ekspor Indonesia, terutama dari sektor manufaktur dan makanan olahan.

"Dalam simulasi model ekonomi GTAP yang kami lakukan, biaya input akan meningkat karena lonjakan harga energi dan logistik. Ini bisa menurunkan ekspor kita, bukan hanya ke Timur Tengah, tapi juga ke negara-negara mitra seperti China, India, bahkan Jepang," jelas Heri.

Dampak tidak langsung juga dapat terjadi apabila mitra dagang utama Indonesia ikut terdampak, misalnya penurunan permintaan dari China karena terganggunya ekspornya ke Timur Tengah.

Dalam simulasi kuantitatif menggunakan model GTAP (Global Trade Analysis Project), Heri memaparkan bahwa perang Iran–Israel dapat menekan ekspor Indonesia di berbagai sektor, antara lain produk pertanian dan peternakan; barang makanan olahan; tekstil dan produk kertas; serta industri kimia dan besi baja

“Impor naik, biaya input naik, dan pada akhirnya ekspor turun. Ini yang kami perkirakan dalam berbagai skenario konflik,” ungkapnya.

Untuk meredam dampak penurunan ekspor, Heri menyarankan empat strategi utama yang bisa diambil pemerintah dalam jangka pendek. Pertama, menjaga stabilitas harga BBM dan LPG, agar inflasi dan biaya produksi tetap terkendali.

Kedua, diversifikasi pasar ekspor dan menjajaki kerja sama bilateral baru di luar kawasan konflik. Ketiga, diversifikasi rantai pasok industri agar pelaku usaha tidak terlalu tergantung pada kawasan Timur Tengah.

Keempat, identifikasi sektor dan komoditas terdampak, guna memberikan insentif dan dukungan fiskal secara lebih terarah.

"Kalau tidak disiapkan dari sekarang, potensi penurunan ekspor bisa menghambat pemulihan ekonomi nasional," tutupnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Akbar Evandio
Editor : Muhammad Ridwan
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper