Bisnis.com, JAKARTA -- Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU No.8/1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) waswas lantaran minimnya keterlibatan lembaga itu dalam pembahasannya.
Ada beberapa pasal yang dikhawatirkan bakal mengamputasi kewenangan hingga upaya pemberantasan korupsi oleh komisi antirasuah.
KPK, selaku salah satu penegak hukum yang berwenang menindak tindak pidana korupsi, selama ini menjalankan upaya penindakan berdasarkan prinsip lex specialis. Ada kekhususan yang menaungi kelembagaan KPK dalam memberantas korupsi.
Merujuk pada UU No.19/2019 tentang KPK, lembaga yang lahir dari rahim reformasi itu berwenang untuk melakukan pencegahan, penindakan serta mengoordinasi maupun mensupervisi penindakan tindak pidana korupsi oleh penegak hukum lain. Dalam hal ini, Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Kendati tetap berlandaskan KUHAP, lembaga yang lahir dari rahim reformasi itu memiliki independensi khusus. Setidaknya sebelum revisi UU KPK pada 2019 lalu yang menyatakan lembaga tersebut menjadi rumpun eksekutif.
Adapun dengan adanya proses revisi KUHAP, berbagai pihak termasuk KPK secara langsung blakblakan menyatakan amandemen itu berpeluang memangkas kewenangan KPK dalam memberantas korupsi. Khususnya, di bidang penindakan.
Baca Juga
Masalahnya, sebagai salah satu penegak hukum, komisi antirasuah pun telah mengakui tidak adanya keterlibatan mereka sejak awal dalam penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Bahkan, masukan KPK pun tidak dimintakan hingga proses pembahasan sudah mencapai tingkat Panja DPR saat ini.
"Setahu saya sampai dengan hari-hari terakhir memang KPK tidak dilibatkan," ungkap Ketua KPK Setyo Budiyanto kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (17/7/2025).
Setyo pun menyampaikan harapannya agar proses amandemen KUHAP pertama sejak 1981 itu bisa dilakukan secara terbuka, transparan dan melibatkan partisipasi berbagai pihak.
Menurut Purnawirawan Polri bintang tiga itu, KPK mengundang sejumlah pakar hukum untuk mengidentifikasi berbagai pasal yang dinilai bisa mengurangi kewenangan-kewenangan tugas dan fungsi lembaganya.
Namun, Ketua KPK jilid VI itu mengaku DIM yang saat ini terus berubah-ubah. Adapun, garis besar yang ingin disoroti olehnya adalah terkait dengan potensi berkurangnya kewenangan KPK dalam melakukan upaya paksa. Baik itu soal pencegahan ke luar negeri hingga penyadapan.
"Upaya paksa ini jangan sampai kemudian ini harus berkurang atau mungkin harus dikoordinir oleh pihak-pihak lain gitu," terang Setyo.
Oleh sebab itu, Setyo berharap agar dalam draf revisi KUHAP bakal ditambah klausul pengecualian pada Pasal 329 RUU KUHAP. Dia juga berharap agar Panja memasukkan blanket clause dalam ketentuan penutup agar keberlakuan UU sektoral, termasuk UU KPK, tetap terjamin.
"Jangan sampai nanti kayak kami berharap khususnya kepada Panja, kemudian kepada pemerintah, antara batang tubuh dengan ketentuan peralihan ini enggak sinkron. Batang tubuhnya mengatur tapi kemudian ketentuan peralihannya menyebutkan disesuaikan. Nah, kalau seperti ini tentu nanti akan menimbulkan sesuatu yang bias, tidak ada sebuah kepastian," papar pria yang juga mantan Irjen Kementerian Pertanian (Kementan) itu.
KPK juga telah mengupayakan agar bisa beraudiensi dengan pihak pemerintah maupun DPR pada Panja RUU KUHAP. Bahkan, lembaga itu sudah mengirimkan surat permintaan audiensi dengan tembusan ke Presiden Prabowo Subianto serta Ketua DPR Puan Maharani.
"Karena kami tidak tahu yang berkembang itu seperti apa sampai dengan saat ini. Termasuk juga kami menyampaikan surat audiensi dan usulan tersebut kepada Presiden, cc Menteri Hukum," ujar Kepala Bagian Perancangan Peraturan Biro Hukum KPK, Imam Akbar Wahyu Nuryamto pada suatu diskusi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (22/7/2025).
Ada 17 Poin Krusial
Adapun KPK telah menyusun kajian yang hasilnya menemukan 17 poin pada RUU KUHAP berpotensi memengaruhi kewenangan pemberantasan korupsi oleh komisi antirasuah. Kajian itu dilakukan bersama dengan ahli hukum pidana yang juga diminta Panja baik dari sisi DPR maupun pemerintah. Salah satunya adalah Dosen Hukum Acara Pidana Universitas Indonesia (UI) Febby Mutiaran Nelson.
Secara garis besar, KPK menilai rancangan amandemen KUHAP telah mengakui azas kekhususan atau lex specialis dari KPK. Namun, masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dalam menyinkronkan KUHAP serta hukum acara pemberantasan korupsi yang juga diatur dalam UU No.19/2019 tentang KPK.
"Karena di satu sisi politik hukum KUHAP itu sudah mengakui, sudah mengakomodir konsep lex specialis-nya, tindak pidana korupsi bersama tindak-tindak khusus lainnya. Maka sudah seharusnya KUHAP menggendong semangat yang sama," terang Imam.
Beberapa pasal yang disoroti oleh KPK, terang Imam, adalah pasal 327, 329 dan 330 pada KUHAP saat ini atau UU No.8/1981. Misalnya, di pasal 329 dan 330, terlihat adanya potensi pertentangan antara UU KPK dan KUHAP. Sehingga, ini bisa menggerus asas lex specialis KPK.
Pasal 329 berbunyi: "Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kewenangan PPNS dan Penyidik Tertentu dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini."
Sementara itu, pasal 330 berbunyi: "Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Upaya Paksa dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini."
Bagi Imam, pasal-pasal yang bertentangan itu menjadi pintu masuk bagi tersangka dugaan korupsi KPK maupun terdakwa sehingga bisa lepas dari jerat penegakan hukum.
"Itu yang kami khawatirkan, maka sebelum terlanjur kami harap ada sinkronisasi yang kemudian menjamin bisa tidak hanya menjamin keadilan bagi pelaku, tapi juga keadilan bagi korban, karena tindak pidana korupsi itu pelakunya bisa dikatakan bukan warga biasa, punya akses terhadap kekayaan dan punya akses terhadap kekuasaan," tuturnya.
Tidak hanya itu, dia lalu mencontohkan pasal 20 di mana mengatur bahwa penyelidikan harus dikoordinasikan, diawasi dan diberi petunjuk oleh Polri. Ini berpeluang menjadikan kewenangan penyelidikan KPK tidak independen.
"Nah tentu ini menjadi pertanyaan dan tantangan, apakah memang ini yang diharapkan oleh perumus undang-undang?," terangnya.
Masih terkait dengan penyelidikan, pasal di revisi KUHAP mengatur bahwa pencarian peristiwa pidana untuk penetapan tersangka dilakukan di tingkat penyidikan. Padahal, selama ini penyelidik KPK sudah berwenang mencari peristiwa pidana. Oleh sebab itu, kasus-kasus di KPK yang sudah naik ke tahap penyidikan umumnya sudah memiliki tersangka.
Lebih jauh lagi, KPK turut mengkhawatirkan butir pasal 7 dan 8 KUHAP yang mengatur bahwa penyerahan perkara atau pelimpahan tahap 2 harus melalui Polri. Padahal, selama ini KPK memiliki kewenangan untuk penyelidikan, penyidikan serta penuntutan secara independen tanpa tergantung dengan lembaga lain.
Bahkan, lembaga antirasuah pun turut mengidentifikasi potensi mengurangnya kewenangan dalam penuntutan. Pada rancangan amandemen KUHAP, wewenangan penuntutan harus dilakukan ke Kejaksaan.
"Penuntutan KPK diberikan undang-undang berdasarkan pasal 6 huruf F juncto pasal 51. Pada intinya adalah penuntut itu diangkat oleh pimpinan [KPK]. Artinya tidak diperlukan kuasa dari instansi lain," paparnya.
Secara lengkap, berikut 17 poin yang diidentifikasi oleh KPK:
1. Keberlakuan UU KPK yang mengatur kewenangan penyelidik dan penyidik serta hukum acara yang bersifat khusus berpotensi dimaknai bertentangan dengan RUU HAP dengan adanya Pasal 329 dan Pasal 330 RUU HAP
2. Keberlanjutan penanganan perkara KPK hanya dapat diselesaikan berdasarkan UU No.8/1981 tentang KUHAP;
3. Keberadaan penyelidik KPK tidak diakomodasi dalam RUU KUHAP, penyelidik hanya berasal dari Polri dan penyelidik diawasi oleh Penyidik Polri;
4. Penyelidikan hanya mencari dan menemukan peristiwa tindak pidana sedangkan penyelidikan KPK saat ini memiliki wewenang untuk menemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti;
5. Keterangan saksi yang diakui sebagai alat bukti hanya yang diperoleh di tahap penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan;
6. Penetapan tersangka ditentukan setelah Penyidik mengumpulkan dan memperoleh dua alat bukti;7. Penghentian penyidikan wajib melibatkan Penyidik Polri;
8. Penyerahan berkas perkara ke penuntut umum melalui Penyidik Polri;
9. Penggeledahan terhadap tersangka dan didampingi Penyidik dari daerah hukum tempat penggeledahan tersebut;
10. Penyitaan dengan permohonan izin Ketua Pengadilan Negeri;
11. Penyadapan termasuk upaya paksa, hanya dilakukan pada tahap penyidikan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri, serta tidak ada definisi penyadapan yang sah (lawful interception);
12. Larangan bepergian ke luar wilayah indonesia termasuk upaya paksa dan hanya terhadap tersangka;
13. Pokok perkara tindak pidana korupsi tidak dapat disidangkan selama proses praperadilan;
14. Kewenangan KPK dalam perkara koneksitas tidak diakomodasi
15. Perlindungan saksi hanya dilakukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK);
16. Penuntutan di luar daerah hukum dengan pengangkatan sementara Jaksa Agung
17. Penuntut umum hanya dari Kejaksaan atau lembaga sesuai UU.