Bisnis.com, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan terdapat dua klaster penyidikan dalam mengusut kasus dugaan korupsi pemberian kredit bank ke Sritex Grup, termasuk ke bank BUMN.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Nurcahyo Jungkung Madyo mengatakan klaster pertama yaitu berkaitan dengan pemberian kredit dari bank daerah seperti Bank DKI (sekarang Bank Jakarta), BJB, hingga Bank Jateng.
“Penyidikan atas dugaan tindak pidana korupsi di PT Sritex ini terbagi menjadi dua klaster. Pertama pertama tentunya, ini yang terkait dengan tiga bank BPD, Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah, BJB dan Bank DKI,” ujar Nurcahyo di Kejagung, Selasa (22/7/2025).
Dia menambahkan klaster kedua berkaitan dengan pemberian kredit dari bank pelat merah seperti BNI, BRI, hingga LPEI ke Sritex Grup.
“Satu lagi klaster yang kami masih melakukan penyidikan juga, yaitu terhadap pemberian kredit di dua bank, yaitu BNI, BRI dan LPEI. Kreditnya ini kredit sindikasi, seperti itu,” tambahnya.
Sementara itu, Nurcahyo menyatakan bahwa pihaknya masih belum bisa menjelaskan secara detail terkait dengan penyidikan di klaster kedua ini.
Baca Juga
Namun demikian, penyidik pada korps Adhyaksa memastikan bakal mengusut setiap persoalan yang ada kasus terkait perusahaan milik konglomerat Lukminto ini bisa terungkap secara terang benderang.
“Saat ini, masih dalam proses penyidikan tentunya. Nantinya pengembangannya juga akan kami sampaikan,” pungkas Nurcahyo.
Sekadar informasi, penyidik korps Adhyaksa telah menetapkan 11 tersangka dalam perkara ini. Dari belasan tersangka itu, tercatat ada tiga bekas bos bank daerah.
Perinciannya, eks Dirut Bank DKI Zainuddin Mappa (ZM), eks Dirut Bank BJB Yuddy Renaldi (YR), dan eks Dirut Bank Jateng, Supriyatno (SP).
Selanjutnya, Kejagung juga telah menetapkan Eks Dirut Sritex Iwan Setiawan Lukminto (ISL) sebagai tersangka.
Iwan diduga telah menggunakan dana kredit dari bank tersebut untuk membayar utang Sritex dan pembelian aset non-produktif seperti tanah di Solo dan Yogyakarta.
Di samping itu, total kerugian negara dalam perkara ini ditaksir mencapai Rp1,08 triliun. Jumlah itu, berdasarkan pemberian kredit dari Bank DKI (sekarang Bank Jakarta) Rp149 miliar; Bank BJB Rp543 miliar; dan Bank Jawa Tengah (Jateng) Rp395 miliar.