Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menegaskan bahwa cuaca panas terik yang belakangan terjadi di Indonesia bukan karena gelombang panas atau heat wave.
Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin menjelaskan bahwa kondisi ini berkaitan dengan masa pancaroba, bukan fenomena cuaca ekstrem seperti yang terjadi di sejumlah negara lain.
“Benar penjelasan BMKG. Suhu panas di Indonesia bukan karena heat wave. Saat masa pancaroba [April—Mei dan Oktober—November] suhu udara di banyak kota di Indonesia lebih tinggi daripada saat musim hujan [Desember—Maret] atau musim kemarau [Juni—September],” kata Thomas saat dihubungi Bisnis pada Selasa (3/6/2025).
Thomas memaparkan bahwa pada musim hujan dan kemarau, angin yang bertiup dari wilayah utara dan selatan yang sedang mengalami musim dingin membawa efek pendinginan. Namun, saat peralihan musim, arah angin mulai berubah dan efek tersebut tidak lagi terasa.
Dia mengatakan panas karena pancaran sinar matahari tidak mengalami efek pendinginan. Oleh sebab itu, minimnya awan menyebabkan pancaran sinar matahari siang hari sangat terik. Thomas juga menyoroti pengaruh urban heat island, yakni fenomena pemanasan di kawasan perkotaan akibat emisi karbon dari aktivitas manusia.
“Efek pemanasan kota [urban heat island] akibat emisi karbon dioksida dari kendaraan bermotor, industri, dan kegiatan rumah tangga menyebabkan suhu udara di kota-kota besar makin tinggi, termasuk malam hari,” tambahnya.
Baca Juga
Dia menjelaskan bahwa suhu udara biasanya diukur secara langsung di titik lokasi (in site), sedangkan satelit mengamati pancaran inframerah yang menunjukkan total panas permukaan bumi. Dari situ, perbedaan suhu antara pusat kota dan daerah pinggiran yang lebih hijau dan rendah emisi bisa terdeteksi.
“Suhu di perkotaan lebih tinggi dari daerah pinggiran yang umumnya masih banyak pohon dan minim emisi karbondioksida dari transportasi dan industri,” kata Thomas.
Sementara itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi bahwa musim kemarau tahun ini akan disertai curah hujan yang tingg. Kondisi tersebut dikenal sebagai kemarau basah.
BMKG memperkirakan 56,54% wilayah Indonesia akan mengalami kondisi lebih basah pada Juni, meluas menjadi 75,3% pada Juli, dan mencapai 84% pada Agustus 2025.
Fenomena ini dipicu oleh berbagai faktor global dan regional seperti suhu muka laut yang lebih hangat dari normal, angin monsun yang masih aktif, serta kemungkinan dampak dari La Niña dan Indian Ocean Dipole (IOD) negatif.