Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menanti Kejelasan Langkah Trump Usik Rantai Pasok China

Para eksportir Asia menunggu kejelasan tarif Trump yang menargetkan rantai pasok China. Tarif baru hingga 40% ancam produk transshipment, memicu restrukturisasi rantai pasok.
Presiden China Xi Jinping dan Presiden AS Donald Trump. Foto Reuters
Presiden China Xi Jinping dan Presiden AS Donald Trump. Foto Reuters

Bisnis.com, JAKARTA — Para eksportir di Asia masih menanti kejelasan tentang bagaimana menghindari tarif penalti yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump yang menyasar rantai pasok China.

Melansir Bloomberg pada Sabtu (26/7/2025), Trump menetapkan tarif sebesar 20% untuk Vietnam serta 19% untuk Indonesia dan Filipina, mengindikasikan bahwa level tersebut kemungkinan akan menjadi standar untuk sebagian besar negara Asia Tenggara, kawasan yang setiap tahunnya mengekspor barang senilai US$352 miliar ke AS.

Namun, Trump juga mengancam akan menaikkan tarif hingga 40% terhadap produk-produk yang dianggap mengalami transshipment, atau dialihkan rutenya melalui negara-negara tersebut — langkah yang bertujuan membendung barang-barang asal China yang mencoba menghindari tarif tinggi AS.

Meski demikian, para pelaku industri masih belum memperoleh kejelasan bagaimana AS akan menghitung dan menerapkan aturan kandungan lokal, yang menjadi kunci dalam menentukan apakah suatu produk dianggap hasil transshipment. 

Pasalnya, negara-negara Asia Tenggara sangat bergantung pada bahan baku dan komponen dari China, sehingga perusahaan AS yang mengambil pasokan dari kawasan ini pun berisiko terkena tarif tambahan.

“Kami masih belum tahu, apakah itu mencakup bahan mentah? Semua bahan mentah? Di atas persentase tertentu? Bagaimana dengan komponen, tenaga kerja, jasa, atau investasi?” ujar Deborah Elms, Kepala Kebijakan Perdagangan di Hinrich Foundation, Singapura.

Dalam kesepakatan dengan Indonesia pekan lalu, Gedung Putih menyatakan bahwa kedua negara akan merundingkan aturan asal barang (rules of origin) untuk mencegah negara ketiga mendapat keuntungan. 

Sementara itu, kesepakatan dengan Vietnam awal bulan ini memuat tarif 40% untuk barang transshipment. Di pihak lain, pejabat Thailand yang belum mencapai kesepakatan, menyebut kemungkinan besar harus meningkatkan kandungan lokal dalam ekspor ke AS.

Minim Kejelasan

Pemerintahan Trump hingga kini belum memberikan rincian jelas. Menurut seorang sumber yang enggan diungkap identitasnya, para pejabat AS masih merumuskan detail dengan mitra dagang dan mempertimbangkan pendekatan berbasis nilai kandungan lokal untuk memastikan produk ekspor tidak sekadar hasil perakitan dari bagian impor.

Seorang pejabat senior pemerintah Trump menyatakan detail mengenai kebijakan transshipment akan dirilis sebelum 1 Agustus, yakni saat tarif baru mulai diberlakukan.

Sejumlah pabrik sudah mulai menyesuaikan rantai pasok agar memenuhi persyaratan baru yang mewajibkan lebih banyak komponen lokal dalam produksi.

Frank Deng, eksekutif perusahaan eksportir furnitur berbasis di Shanghai yang memiliki fasilitas di Vietnam dan melayani 80% pasar AS, menyatakan pihaknya telah melakukan penyesuaian karena pemerintah tampaknya mulai menerapkan aturan asal barang dengan lebih ketat.

Deng menyebut, Vietnam sebenarnya sudah memiliki persyaratan kandungan lokal, misalnya bahan baku dari China maksimal 30%, dan nilai barang setelah diproduksi di Vietnam harus 40% lebih tinggi dari nilai bahan bakunya.

“Kami berjuang memenuhi semua standar agar tetap bisa bertahan," katanya.

Restrukturisasi Rantai Pasok

Bagi sebagian besar negara Asia Tenggara, mengurangi ketergantungan terhadap komponen buatan China berarti harus merestrukturisasi total rantai pasok mereka. Estimasi Eurasia Group menunjukkan bahwa komponen asal China menyumbang 60%–70% dari ekspor Asia Tenggara, terutama untuk sektor manufaktur dan perakitan.

Saat ini, sekitar 15% ekspor Asia Tenggara ditujukan ke AS, naik sekitar 4 poin persentase dibanding 2018.

AS semakin waspada terhadap upaya China menghindari tarif melalui negara ketiga sejak perang dagang pertama dimulai pada 2017. Thailand menyuarakan frustrasinya terhadap ketidakjelasan batas kandungan lokal agar bisa menghindari tarif transshipment, dan memperkirakan ambang batas itu bisa jauh lebih tinggi dari standar tradisional 40%.

Wakil Perdana Menteri Thailand Pichai Chunhavajira pada 14 Juli lalu sempat mengungkap dari informasi yang dia dengar, persentasenya bisa jauh lebih tinggi — mungkin 60%, 70%, atau bahkan 80%. 

“Negara berkembang atau basis produksi baru jelas berada dalam posisi tidak menguntungkan,” lanjutnya, mengingat kapasitas manufaktur mereka masih dalam tahap awal dan bergantung pada bahan baku dari negara lain.

Vietnam, Thailand, dan Malaysia telah mengambil langkah pada tahun ini untuk merespons kekhawatiran AS, termasuk memperketat aturan asal barang, memusatkan proses bea cukai, serta memberikan sanksi berat terhadap praktik transshipment.

Namun, negara berkembang tetap menghadapi tantangan dalam menegakkan aturan Trump — terutama bila berisiko berbenturan dengan China, mitra dagang dan geopolitik terbesar mereka.

Dan Wang, Direktur China di Eurasia Group mengatakan pada kenyataannya, kebijakan ini sulit ditegakkan. Dia menuturkan, perusahaan-perusahaan China memiliki berbagai cara untuk menghindari aturan, sementara negara lain tidak punya insentif maupun kapasitas untuk mengumpulkan data dan menentukan kandungan lokal.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro