Bisnis.com, JAKARTA - Transformasi besar-besaran yang digelorakan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menuai banyak respon positif masyarakat.
Direktur Jenderal Imigrasi Silmy Karim mengatakan apresiasi diberikan oleh para duta besar negara sahabat yang warga negaranya mendapatkan banyak manfaat tersebut proses transformasi selama 18 bulan terakhir.
“Kemudian respon positif dari beberapa kumpulan investor, pelaku perdagangan daring di Indonesia. Orang luar negeri juga memberikan tanggapan positif. Banyak teman-teman dari luar negeri juga surprise. Kalau WNI kan mereka merasakan sendiri kemudahan saat melintas dan kami juga punya immigration lounge di beberapa tempat seperti di Pondok Indah Mall dan Senayan City dengan layanan cepat,” katanya dalam rubrik Coffee Time with May.
Menariknya, untuk layanan di lounge, paspor jadi hanya dalam tempo satu jam saja. Hal ini, menurut Silmy, diberlakukan bagi warga yang sangat membutuhkan paspor dalam waktu cepat karena alasan yang mendesak.
Untuk waktu normal, pembuatan paspor bisa selesai dalam tempo tiga hari. Namun, dia mengatakan tidak semua pengajuan paspor bisa diproses hanya dalam tempo satu jam saja.
Hal ini dikarenakan setiap hari ada sekitar 4000-an pengajuan paspor yang perlu diproses sehingga baru selesai dalam kurun waktu tiga hari.
Baca Juga
Waktu tiga hari ini menurutnya sudah terbilang cepat jika dibandingkan dengan negara lain ambil misal Jerman, yang notabene merupakan negara maju. Di negara Eropa itu, proses pembuatan paspor malah lebih lama dari Indonesia yakni selama 8-10 minggu.
“Pelayanan yang prima ini merupakan buah dari semangat teman-teman Imigrasi, bukan hanya saya. Mereka ingin menunjukkan terjadi transformasi di tubuh Imigrasi,” ungkapnya.
Meski terbilang sukses melakukan transformasi, bukan berarti tidak ada tantangna yang dihadapi oleh Silmy. Tantangan terbesar adlaah karakteristik lembaga pemerintahan yang memiliki aturan yang bersifat hirarkis. Tentu saja hal itu berbeda dengan perusahaan swasta maupun BUMN yang bisa dengan cepat mengeksekusi sebuah kebijakan karena tidak memiliki struktur aturan yang bertingkat tersebut.
“Perlu sikontrisasi. Lalu misalkan kalau kita mempunya suatu ide, aturan yang berada di atasnya tidak memperbolehkan hal itu. Jadi harus diubah dahulu aturan yang di atas,” terangnya.
Selain itu tantangan lain adalah sulitnya memberikan reward atau penghargaan kepada pekerja yang berprestasi, karena ada sejumlah aturan yang mendasari penggajian kepada abdi negara. Pemberian penghargaan seperti bonus, kata dia, dengan mudah dilakukan di perusahaan swasta atau BUMN.
Golden Visa
Dalam kesempatan itu, Silmy juga menceritakan latar belakang peluncuran golden visa. Menurutnya, visa ini diberikan sebagai respon atas persaingan dalam meraup investasi asing, dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
“Kalau ke Indonesia kita berikan fasilitas lima sampai sepuluh tahun. Bisa bekerja, bisa bolak-balik, bisa tinggal. Ya memberikan daya saing kepada para investor untuk masuk ke Indonesia, dibandingkan misalnya mereka investasi di luar negeri,” tuturnya.
Istilah golden visa menurutnya, mengikuti program yang dilakukan oleh Uni Emirat Arab. Di sana, program tersebut terbilang sukses meraup investasi dan mendatangkan warga negara asing. Di Indonesia, tuturnya, WNA hanya berjumlah sekitar 2 persen. Akan tetapi di negara Timur Tengah itu, jumlah warga asing mencapai lebih dari 80 persen.
“Kenapa warga asing tertarik ke sana karena pemerintah di sana membuka diri, untuk mendukung perkeonomian mereka dengan berinvestasi atau bekerja dengan profesionalisme yang baik sehingga memberikan pertumbuhan dan manfaat bagi masyarakat di sana,” bebernya.
Selain itu, Indonesia juga memiliki visa bagi para diaspora yang sudah berganti kewarganegaraan dan keturunannya smapai level ketiga bisa masuk ke Indonesia dengan mudah. Hal ini juga menurutnya merupakan suatu hal yang baru dalam keimigrasian.