Salah satu janji yang disampaikan oleh pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan KH. Ma'ruf Amin saat debat Calon Presiden dan Cawapres pada Pilpres 2019 beberapa waktu lalu adalah bakal membentuk badan/lembaga legislasi nasional.
Pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih itu menilai betapa pentingnya keberadaan institusi baru tersebut guna mengatasi persoalan disharmoni regulasi yang sering terjadi di Indonesia selama ini.
Institusi baru yang dimaksud Jokowi itu adalah sebuah badan/lembaga yang dibentuk dengan menggabungkan fungsi-fungsi legislasi, baik yang ada di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Ditjen Peraturan Perundangan maupun fungsi legislasi lainnya yang ada di seluruh kementerian/lembaga saat ini.
Badan/lembaga yang akan berada langsung dibawah presiden itu dapat dijadikan wadah konsultasi bagi pemda maupun institusi lain yang hendak menerbitkan regulasi, sehingga seluruh produk yang dihasilkan menjadi lebih harmonis dan tidak tumpang tindih.
Namun demikian, menjelang pelantikan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin pada pertengahan Oktober mendatang, isu rencana pembentukan badan/lembaga legislasi nasional tersebut, hingga kini masih tak terdengar lagi kabarnya.
Padahal, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga mengakui bahwa keberadaan institusi baru itu nantinya sangat strategis dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.
Oleh sebab itu, sejumlah pihak pun mendesak agar janji Jokowi itu dapat segera direalisasikan pada tahun ini. Mengingat urgensinya sangat besar, pada saat pengumuman menteri-menteri kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin bahkan diharapkan instansi baru itu sudah terbentuk.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mendesak agar pembentukan badan atau lembaga legislasi nasional tersebut dapat segera terbentuk tahun ini.
“Saat Presiden Jokowi mengumumkan nama-nama menteri sebagai pembantunya, badan/lembaga baru ini sebaiknya sudah ada,” ujarnya.
Pasalnya, keberadaanya akan sangat baik untuk melakukan harmonisasi regulasi yang selama ini sering tumpang tindih. “Yang terpenting dari keberadaan lembaga ini adalah harus dapat mengatasi ego sektoral antarlembaga atau kementerian, maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,” ujarnya.
Menurutnya, saat ini masih banyak peraturan daerah yang bermasalah. Dengan merujuk pada hasil kajian KPPOD pada April 2017 terhadap 1.082 perda pungutan dan nonpungutan (perizinan, ketenagakerjaan, CSR), yang dikaji, didapati bahwa 50,55% perda bermasalah.
“Angka tersebut sejak awal otonomi daerah justru cenderung meningkat. Sebelumnya hanya sekitar 30%-an, sekarang malah makin buruk jadi 50%-an,” ujarnya.
Menurutnya dari sejumlah perda yang bermasalah itu, persoalan terbesar terletak pada kejelasan standar waktu, biaya, dan prosedur.
Hal ini tentu sangat membebani investasi daerah, karena dunia usaha membutuhkan kepastian hukum soal waktu, biaya, dan prosedur, baik dalam pembayaran pajak dan retribusi maupun dalam proses perizinan usaha.
Oleh sebab itu, tegas dia, pembentukan, badan/lembaga legislasi nasional atau badan/lembaga regulasi nasional penting untuk segera dibentuk untuk melakukan hormonisasi regulasi baik di tingkat pusat, antardaerah maupun antara pusat dan daerah.
Selain itu, keberadaan badan/lembaga legislasi nasional tersebut juga akan menjadi pusat pangkalan data regulasi yang terpusat. “Jadi semua data regulasi ada di sana sekretariatnya,” ujarnya.