Bisnis.com, JAKARTA — Jemaah haji di masa kini boleh menikmati banyak kemudahan ketika pergi dan melaksanakan rukun Islam kelima di Tanah Suci. Namun, pada masanya, ibadah haji adalah perjalanan panjang dengan nyawa sebagai taruhannya.
Menurut sejumlah manuskrip sejarah, antara 1853 dan 1858, jemaah haji yang pulang dari Makkah ke Nusantara tidak sampai separuh dari mereka yang berangkat. Banyak di antaranya yang meninggal saat di perjalanan.
Rata-rata mereka tinggal di Tanah Suci empat sampai lima bulan sebelum harus kembali bertaruh nyawa dalam perjalanan pulang ke Tanah Air. Jauh lebih lama dari rata-rata masa tinggal jemaah haji Indonesia di Arab Saudi tahun ini yakni 41 hari.
Menukil artikel Martin van Bruinessen, seorang peneliti keislaman asal Belanda bertajuk Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji (1990), perjalanan haji pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 berlangsung setidaknya satu setengah tahun. Itu pun tergolong sudah cepat.
Baca Juga : Gerilya Pulangkan Rupiah dari Tanah Suci |
---|
Rinciannya, sekitar setengah tahun perjalanan berangkat, empat hingga lima bulan tinggal di Arab Saudi, dan kembali pulang sekira separuh warsa.
Kala itu, perjalanan haji harus dilalui dengan perahu layar sebelum kemudian berganti dengan kapal api. Biasanya, jemaah dari Nusantara menumpang kapal dagang, yang berarti mereka harus singgah dan pindah kapal di berbagai pelabuhan pusat dagang dunia.
Dari berbagai pelabuhan di Nusantara, para jemaah calon haji Nusantara akan terlebih dahulu singgah di pusat karantina di Pulau Rubiah, Sabang, Aceh. Itulah mengapa Aceh hingga kini dijuluki Negeri Serambi Makkah karena dulunya merupakan tempat pemberhentian terakhir sebelum jemaah haji Nusantara bertolak ke Tanah Suci.
Pada masa itu, jemaah haji yang akan berangkat dan pulang dari Makkah harus menetap di pusat karantina itu selama kurang lebih satu bulan. Selain di Pulau Rubiah, karantina haji zaman kolonial juga ada di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, untuk menampung jemaah haji di Pulau Jawa.
Dari Aceh, mereka akan menumpang kapal menuju India, lalu mencari tumpangan yang bisa membawa ke Hadramaut, Yaman atau langsung ke Jeddah. Perjalanan ini bisa memakan waktu setengah tahun sekali jalan.
"Para haji berhadapan dengan berbagai macam bahaya. Tidak jarang perahu yang mereka tumpangi karam dan penumpangnya tenggelam, atau terdampar di pantai tak dikenal," ungkap Martin.
Ada jemaah yang seluruh barang bawaannya dijarah perompak atau malah awak perahu sendiri. Sesampainya di Tanah Arab pun, mereka masih berus berhadapan dengan perampok Suku Badui. Belum lagi wabah penyakit yang mengintai jemaah haji.
Pelopor sastra Melayu modern, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi naik haji pada 1854, tidak lama sebelum kapal layar digantikan dengan kapal api. Di perjalanan mendekati Tanjung Gamri di Sri Lanka, kapalnya diguncang angin dahsyat. Abdullah meninggal dunia beberapa hari setelah mencapai Makkah, sehingga tidak sempat menyelesaikan buku terakhir yang ditulisnya.
Pada 1869, Terusan Suez dibuka dan jumlah kapal api yang berlayar dari Jawa atau Singapura menuju Jeddah, meningkat drastis. Saat itu, tiga maskapai perkapalan Belanda bersaing dengan Inggris untuk mengangkut jemaah haji sebanyak mungkin.
Sementara itu, jika jemaah haji saat ini tiba di Tanah Suci sekitar sebulan sebelum masa puncak haji, orang-orang Nusantara zaman dulu mulai memadati Makkah sejak sebelum Ramadan untuk menghabiskan bulan suci di Tanah Haram.
Pada masa itu, Belanda juga mencatat bahwa banyak orang Indonesia yang berangkat ke Makkah tidak kembali lagi. Kondisinya membaik pada sekitar 1930-an ketika fasilitas kesehatan meningkat kualitasnya dibandingkan dengan abad sebelumnya. Setelah itu, setiap tahun sekitar 10% jemaah haji Indonesia meninggal di Tanah Suci.
Haji dan perjuangan kemerdekaan
Sebelum haji menjadi semudah dan seringkas saat ini, rangkaian ibadah itu pernah menjadi salah satu penentu penting dalam sejarah perjalanan bangsa ini.
Christiaan Snouck Hurgronje, seorang akademisi Belanda bidang Oriental dan bahasa, mencatat bahwa selama beberapa bulan tinggal di Tanah Suci, jemaah haji Nusantara dengan bebas membicarakan perlawanan di Aceh dan penjajahan Belanda, Inggris, dan Prancis terhadap bangsa-bangsa berpenduduk muslim.
"Para haji hidup beberapa bulan dalam suasana antikolonial yang sangat berbekas. Pemberontakan petani Banten 1888 dan pemberontakan Sasak 1892 melawan Bali (yang menduduki Lombok pada zaman itu) jelas diilhami oleh pengalaman tokoh-tokoh ketika mereka berada di Makkah," jelasnya.
Masyarakat Jawa yang bermukim di Makkah juga disebut-sebut memiliki peranan penting sebagai perantara orang Nusantara dan perkembangan politik di dunia Islam.
Para ulama seperti Syekh Nawawi Al-Bantani dari Banten, Syekh Mahfudz al-Tarmasi asal Pacitan, dan Ahmad Khatib al-Minangkabawi kelahiran Minangkabau, mengajar di Makkah pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
Nama-nama besar itu mengilhami gerakan sosial keagamaan di Indonesia dan mendidik banyak ulama yang kemudian berperan penting di Tanah Air. Melalui majelis-majelis ilmu di Makkah, jemaah haji juga menjadi lebih dekat dengan perjuangan saudara mereka di India melawan penjajah Inggris.
Selain menjadi kiblat, Makkah saat itu adalah titik pemersatu pejuang Nusantara yang menyediakan jendela untuk melihat dunia luar yang lebih luas.
Memaknai haji kini
Rektor Universitas Islam Negeri KH Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, Hepni Zein dalam kolomnya di kemenag.go.id bertajuk Haji Berbasis Kemanusiaan: Menemukan Tuhan Dalam Wajah Sesama, menguraikan dengan apik bagaimana memaknai haji di era saat ini.
Setelah haji sempat menjadi penyambung sejarah kemerdekaan Indonesia, Hepni kini memaknai ibadah itu sebagai latihan besar untuk mencintai sesama manusia, menyadari penderitaan global, dan menumbuhkan kepekaan sosial.
Ibadah haji kini dihadapkan pada tantangan zaman, untuk menjadikan dunia lebih damai, adil, dan manusiawi.
"Di balik gema takbir yang mengguncang langit Arafah, di belahan bumi lain, suara tangis anak-anak Palestina bersahut dengan dentuman bom; warga Sudan bertahan dalam kelaparan dan konflik; dan para pengungsi Rohingya terusir dari tanah kelahiran, terombang-ambing di lautan tanpa kepastian. Maka, sebuah pertanyaan mendalam pun menggema: bagaimana mungkin kita merasa dekat dengan Tuhan, jika kita masih jauh dari derita sesama manusia?" tulis Hepni.
Mereka yang telah pulang dari haji, lanjut Hepni, hendaknya lebih memiliki kekuatan moral yang menembus batas ritual, untuk tidak tinggal diam di tengah ketidakadilan, menginspirasi langkah untuk peduli, dan menyalakan cinta kasih sesama.
"Sebab Tuhan yang kita temui di keheningan malam di Makkah, adalah Tuhan yang sama yang hadir dalam air mata tetangga yang kelaparan, derita anak yatim yang tak bersuara, dan dalam wajah-wajah manusia yang menanti uluran tangan kita."