Bisnis.com, JAKARTA – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali membuka lembaran baru dalam kasus dugaan korupsi dan pencucian uang terkait program corporate social responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Terbaru, dua anggota DPR RI periode 2019–2024, Heri Gunawan (HG) dari Partai Gerindra dan Satori (ST) dari Partai Nasdem, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Penetapan ini menjadi babak krusial setelah hampir setahun KPK memeriksa berbagai pihak hingga menggeledah kantor lembaga tinggi negara. KPK juga menelusuri jejak aliran dana yang seharusnya untuk kegiatan sosial, tetapi diduga berubah haluan menjadi pembelian tanah, kendaraan, deposito, hingga pembangunan usaha pribadi.
Awal Mula Dana CSR BI & OJK dari Panja Komisi XI
Dugaan rasuah ini bermula dari pembentukan Panitia Kerja (Panja) Komisi XI DPR untuk membahas pendapatan dan pengeluaran anggaran mitra kerja, termasuk BI dan OJK.
Dalam rapat-rapat tertutup sejak 2020, disepakati penyaluran dana CSR dari kedua lembaga tersebut untuk kegiatan sosial masyarakat. BI mengalokasikan sekitar 10 kegiatan per tahun, sedangkan OJK 18–24 kegiatan CSR.
Namun, menurut KPK, alokasi tersebut justru menjadi celah. HG dan ST diduga memanfaatkan yayasan yang mereka kelola—empat milik HG dan delapan milik ST—sebagai penampung dana. Proposal diajukan, dana dicairkan, lalu mengalir ke rekening pribadi atau rekening baru yang dibuka oleh staf kepercayaan mereka.
Baca Juga
“Uang yang seharusnya untuk memperbaiki rumah rakyat, pendidikan, atau kesehatan, malah digunakan untuk kepentingan pribadi,” ujar Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Jakarta, Kamis (7/8/2025).
Dari hasil penyidikan, HG menerima total Rp15,86 miliar, yang terdiri dari Rp6,26 miliar dari BI, Rp7,64 miliar dari OJK, dan Rp1,94 miliar dari mitra kerja lainnya.
Uang ini digunakan HG untuk membangun rumah makan, membeli mobil, tanah, bangunan, hingga mengelola outlet minuman.
ST, di sisi lain, mengantongi Rp12,52 miliar: Rp6,30 miliar dari BI, Rp5,14 miliar dari OJK, dan Rp1,04 miliar dari mitra kerja lain. Modusnya lebih rumit sebab dia meminta salah satu bank menyamarkan transaksi deposito sehingga pencairan tak terdeteksi di rekening koran.
"Dana itu kemudian dipakai untuk membeli tanah, membangun showroom, hingga kendaraan bermotor," ujar Asep.
KPK belum berhenti pada dua nama ini. Penyidik tengah menelusuri kemungkinan keterlibatan pejabat BI, OJK, dan anggota DPR lain. Sejumlah saksi sudah dipanggil, termasuk mantan pejabat BI, pejabat aktif OJK, dan anggota DPR dari berbagai fraksi.
Bahkan, ruang kerja Gubernur BI Perry Warjiyo sempat digeledah pada Desember 2024. Meski begitu, Perry hingga kini belum dipanggil untuk dimintai keterangan. BI sendiri menyatakan menghormati proses hukum dan berkomitmen mendukung penyidikan.
“Kami akan mendalami peran gubernur BI, deputi gubernur, juga pihak OJK. Tidak menutup kemungkinan ada temuan tindak pidana korupsi lainnya,” kata Asep.
Kasus ini menyoroti lemahnya pengawasan dana CSR di lembaga negara. Dana yang diharapkan menjadi motor kegiatan sosial ternyata rawan diselewengkan lewat pertanggungjawaban fiktif.
Contoh yang diungkap KPK: satu proposal pengajuan dana PSBI senilai Rp250 juta untuk membangun 50 rumah rakyat, namun di lapangan hanya terbangun 8–10 unit. Sisa anggaran miliaran rupiah menguap.
Pengamat tata kelola publik menilai skema penyaluran melalui yayasan tanpa verifikasi independen membuat program CSR rentan menjadi “ladang basah” bagi oknum.
“Tanpa transparansi dan kontrol publik, dana sosial bisa berubah menjadi dana pribadi,” ujar seorang akademisi.
Menanti Babak Lanjutan TPPU
Dengan dua alat bukti yang telah dikantongi, KPK menjerat HG dan ST dengan pasal korupsi dan pencucian uang. Namun, publik menunggu lebih dari sekadar vonis.
Babak baru ini diharapkan mengungkap jaringan yang lebih luas—apakah hanya dua anggota DPR ini yang bermain, atau ada sistem yang lebih dalam yang memuluskan aliran dana CSR untuk kepentingan pribadi.
Di tengah penantian itu, satu pesan menjadi jelas: amanat sosial dana CSR harus kembali ke rakyat. Sebab, setiap rupiah yang dialihkan, berarti mengurangi harapan warga terhadap bantuan yang seharusnya mereka terima.
Sementara itu, KPK juga merasa janggal terkait persetujuan penyaluran dana CSR BI dan OJK ke yayasan milik tersangka kasus ini, Heri Gunawan (HG) dan Satori (ST).
Asep Guntur Rahayu mempertanyakan mengapa yayasan tersebut harus dipilih untuk mengelola dana CSR BI dan OJK. Sebab bisa saja yayasan di luar Komisi XI atau struktural terkait dipilih untuk menjalankan program itu.
"Mengapa itu tidak diberikan misalnya kepada yayasan-yayasan yang bukan dimiliki oleh anggota Komisi XI atau di luar yang ditunjuk oleh anggota Komisi XI. Misalkan rekan-rekan punya yayasan boleh dong mengajukan juga mendapatkan bantuan sosial baik dari BI, OJK, maupun mitra dari Komisi XI tersebut," jelas Asep dalam jumpa pers, Kamis (7/8/2025).
Dia mengatakan dugaan kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) ini memiliki modus mengkambinghitamkan bantuan sosial padahal uang akan digunakan untuk kepentingan pribadi.
"Kita sedang mendalami adanya sejumlah uang yang bergeser walaupun ini dalam bentuk 'dibungkus' dengan kegiatan sosial, dana sosial. Tapi tentu selalu ada alasan," kata Asep.
Meski begitu, Asep mengatakan penyidik sedang mengusut kasus ini agar mengetahui secara pasti aliran dana CSR. Dia tidak menutup kemungkinan dalam pengembangan perkara ada pihak-pihak atau temuan baru sehingga kasus terungkap secara terang benderang.
Salah satunya ingin mengetahui apakah kedua tersangka menyalurkan atau diperintahkan oleh partai politiknya untuk melancarkan dugaan TPPU.
"Apakah pemberian sejumlah uang ini merupakan juga connecting atau ada hubungan dengan partai politiknya? Apakah diperintahkan partai politiknya? Apakah disetor dan lain-lain itu yang sampai saat ini kita akan memperdalam?" tegasnya.
Tindak lanjut kasus dana CSR BI-OJK berkaitan dengan pasal yang ditetapkan oleh KPK kepada tersangka, yakni pasal terkait TPPU.
Asep menyebutkan HG dan ST mengantongi total uang yang berbeda. HG menerima Rp15,86 miliar, sedangkan ST Rp12,52 miliar. Uang tersebut diduga digunakan untuk keperluan pribadi, bukan penyaluran kegiatan sosial sebagaimana ketentuan yang berlaku.
Adapun, KPK menjerat tersangka dengan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo.
Pasal 64 ayat (1) KUHP; serta Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat 1 ke-(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.