Bisnis.com, JAKARTA — Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan militer Israel bersiap mengambil kendali penuh atas Gaza dalam langkah terakhir untuk menggulingkan Hamas dan mengakhiri konflik yang telah berlangsung selama 22 bulan.
Melansir Bloomberg pada Jumat (8/82025), Netanyahu mengatakan ingin membebaskan Israel dan rakyat Gaza dari kepemimpinan Hamas. Namun, dia menegaskan tidak berniat memerintah wilayah Palestina itu dalam jangka panjang.
Dalam wawancara dengan Fox News, Netanyahu mengatakan rencana jangka panjang Israel adalah menyerahkan Gaza kepada pemerintahan sipil yang bukan berasal dari Hamas atau pihak mana pun yang mendukung penghancuran Israel.
“Kami tidak ingin menguasai Gaza secara permanen — kami hanya ingin zona pengamanan. Kami ingin menyerahkannya kepada kekuatan Arab yang dapat memerintah dengan baik tanpa mengancam kami," tegasnya.
Saat ditanya apakah hal tersebut berarti Israel akan merebut bagian Gaza yang belum dikuasai militer, Netanyahu menjawab pihaknya berniat melakukan itu tanpa merinci operasi militer yang direncanakan.
Langkah ini menandai eskalasi baru dalam perang yang telah menghancurkan Gaza, di mana Program Pangan Dunia (WFP) mencatat sekitar 500.000 orang mengalami kelaparan.
Baca Juga
Sejumlah negara Barat terus menyerukan gencatan senjata, sementara jajak pendapat menunjukkan sebagian besar warga Israel lebih memilih penghentian perang meski Hamas tetap eksis, jika itu menjadi syarat untuk memulangkan para sandera yang masih ditahan kelompok yang didukung Iran tersebut.
Kabinet keamanan Israel dijadwalkan menggelar pertemuan pada Kamis malam guna menentukan langkah lanjutan setelah rundingan gencatan senjata kembali menemui jalan buntu bulan lalu.
Hamas, yang dikategorikan sebagai organisasi teroris oleh AS dan sejumlah negara lain, menuntut jaminan akhir perang dari Israel. Namun, Tel Aviv menegaskan bahwa Hamas harus terlebih dahulu menyerahkan kekuasaan dan melucuti senjata.
Menanggapi pernyataan Netanyahu, Hamas mengatakan melalui Telegram bahwa komentar tersebut merupakan kudeta terhadap proses negosiasi gencatan senjata.
"Padahal kami sudah hampir mencapai kesepakatan akhir," jelasnya.
Pemerintah Amerika Serikat, sekutu utama Israel, menyatakan dukungan terhadap hak Netanyahu untuk membuat keputusan sulit demi mengakhiri perang.
Saat ini, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah menguasai sekitar 75% wilayah Gaza, memaksa ratusan ribu warga Palestina mengungsi dari kota dan rumah yang porak-poranda.
Gaza City di bagian utara menjadi salah satu wilayah yang terus dibombardir dari udara namun relatif dihindari oleh serangan darat, karena Israel meyakini sisa 50 sandera masih ditahan di sana—dengan sekitar 20 orang diperkirakan masih hidup.
Israel terus menghadapi tekanan internasional seiring meningkatnya korban jiwa dan krisis kemanusiaan di Gaza. Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas melaporkan lebih dari 61.000 warga Palestina telah tewas sepanjang perang, sementara pembatasan bantuan oleh Israel memicu peringatan kelaparan yang semakin memburuk dari PBB dan organisasi kemanusiaan lainnya.
Netanyahu bertekad meraih kemenangan penuh atas Hamas sebagai balasan atas serangan kelompok tersebut pada Oktober 2023, yang menewaskan 1.200 orang dan menyandera 250 lainnya di wilayah Israel.
Di sisi lain, Yair Lapid, pemimpin oposisi liberal Israel dan sebelumnya mendukung operasi militer melawan Hamas, mengatakan melalui platform X bahwa dirinya telah bertemu Netanyahu untuk menyampaikan bahwa pendudukan penuh Gaza adalah ide buruk.
“Mayoritas rakyat tidak mendukung Anda. Warga Israel tidak menginginkan perang ini. Biayanya akan sangat mahal bagi kita semua,” ujar Lapid.
Keluarga para sandera turut menggelar aksi berjaga di luar kompleks pemerintahan di Yerusalem, tempat kabinet keamanan dijadwalkan bertemu. Dalam pernyataannya, mereka menilai bahwa perintah untuk menguasai penuh Gaza berisiko membuat kerabat mereka lenyap selamanya di tanah Gaza.