Kabar24.com- Sebut saja namanya Amir. Usianya baru 14 tahun saat dia diajak membantu sang kakak menjadi kuli angkut di sebuah perkebunan di Jawa Timur. Melihat posturnya yang cukup jangkung dan karakternya yang pendiam, tak banyak yang menyadari dia masih sangat belia.
Perusahaan tempatnya bekerja memproduksi barang yang akan diekspor. Karena sudah terbiasa mengenal uang hasil jerih payah sejak remaja, Amir lebih memilih bekerja ketimbang mengenyam sekolah. Baginya, sekolah tidak membantu mengenyangkan perut.
Tidak banyak pihak yang menyadari bahwa Indonesia masih lekat dengan praktik perburuhan anak. Lebih dari 2 juta anak menjadi pekerja di bawah umur. Jika diteliti lebih jeli, sistem rantai pasok di banyak perusahaan melibatkan pekerja yang berusia di bawah 18 tahun.
Dalam rangka mengakhiri pekerja anak dalam rantai pasok perusahaan-perusahaan di Indonesia, Organisasi Perburuhan Internasional (International Labor Organization/ILO) terus mendesak para pebisnis untuk segera mengeliminasi perburuhan anak di perusahaannya.
Kegiatan yang menggandeng Kedutaan Besar Amerika Serikat tersebut bertujuan meningkatkan kesadaran dunia usaha bahwa selama ini keberadaan pekerja anak di Tanah Air masih dijumpai dalam produksi barang dan jasa untuk pasar domestik maupun ekspor.
Harus diakui, rantai pasok adalah sebuah sistem produksi dan distribusi produk yang sangat kompleks sehingga agak sulit mengendus praktik perburuhan anak di dalamnya. Jika disisir lebih detail, masih banyak bagian dari rantai pasok yang diam-diam melibatkan pekerja anak.
ILO mencatat di dunia ini terdapat sekitar 168 juta anak di bawah umur yang terjerat praktik perburuhan di dalam sistem rantai pasok sebuah perusahaan; mulai dari sektor pertanian, manufaktur, jasa, hingga konstruksi.
Kebanyakan perburuhan anak terjadi di pedesaan untuk sektor-sektor informal. Sebab, tata kelola pasar tenaga kerja, serikat pekerja, dan organisasi pengusaha di pedesaan seringkali lemah dan tidak terjangkau oleh pengawas ketenagakerjaan.
Bagaimanapun, tanpa disadari, pekerja anak yang terjerat di dalam sistem rantai pasok sebuah perusahaan sebenarnya bisa ditemui di sekitar kita. Mulai dari di bengkel hingga di rumah-rumah kecil, yang sulit diidentifikasi.
ILO mencatat, di Indonesia kebanyakan praktik perburuhan anak di dalam rantai pasok terjadi di perusahaan-perusahaan yang memproduksi barang-barang untuk konsumsi nasional. Meskipun demikian, tidak sedikit pula perusahaan internasional yang melakukan praktik ini.
Di perusahaan internasional, biasanya praktik perburuhan anak terjadi melalui fasilitas sendiri, pemasok, maupun subkontraktor perusahaan yang bersangkutan. Atau, bisa juga terjadi hanya karena perusahaan itu beroperasi di daerah yang lazim terjadi perburuhan anak.
Duta Besar AS untuk Indonesia Robert O. Blake mengatakan upaya untuk menjegal praktik perburuhan anak di Tanah Air akan semakin menantang ke depannya. Oleh karena itu, seluruh pihak harus proaktif dalam mengakhiri pekerja anak di perusahaan.
“Dengan meningkatnya kompleksitas rantai pasokan global, pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja harus menggiatkan upaya-upaya mereka untuk mencegah anak-anak terlibat di dalam pekerjaan yang berbahaya,” ujarnya di sela peringatan Hari Dunia di Jakarta.
Sementara itu, Direktur ILO di Indonesia Francesco d’Ovidio menegaskan perjuangan untuk menihilkan praktik perburuhan anak dalam rantai pasok tidak bisa hanya bertumpu pada upaya pemerintah saja.
“Hari Dunia ini merupakan momentum yang tepat untuk menyikapi problema pekerja anak dalam rantai pasok, sebuah sektor di mana defisit pekerjaan layak tidak selalu kasat mata,” ujarnya.
Dia mengatakan meskipun mata rantai terakhir dalam sistem rantai pasok kemungkinan terbebas dari pekerja anak, pemerintah harus melihat dengan jeli mata rantai sebelumnya untuk memastikan tidak ada kekerasan yang tersembunyi di sepanjang proses rantai pasok.
“Ini bukanlah tugas yang mudah, dan memerlukan kesabaran serta komitmen dari seluruh pemangku kepentingan, baik dari pemerintah, pekerja, pengusaha, maupun perusahaan,” tuturnya.
Tahun lalu, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Hanif Dhakiri menyampaikan target untuk membebaskan Indonesia dari praktik perburuhan anak pada 2022. Agenda itu dikenal juga dengan nama zero child labor program.
Kemenakertrans mencatat selama ini kantong perburuhan anak paling banyak terjadi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Pekerja anak paling banyak ditemukan di sektor pertanian, perkebunan, dan konstruksi.
Mungkin, untuk bisa menganulir praktik perburuhan anak, pemerintah lebih baik fokus pada faktor-faktor yang memicu seorang anak bekerja sebelum waktunya. Misalnya saja kemiskinan, sosiokultural, pendidikan, urbanisasi, dan lemahnya pengawasan institusi.
Mudah-mudahan target pembersihan buruh anak di Indonesia bisa tercapai sebelum 2022. Dibutuhkan upaya yang sangat keras, bukan hanya dari segi pengawasan di perusahaan, tapi bagaimana mengubah pola pikir masyarakat miskin untuk tidak mengeksploitasi anak demi mendapatkan sesuap nasi.