Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat hukum internasional menilai bahwa sesungguhnya Amerika Serikat memiliki keinginan kuat untuk menyerang Iran, meskipun konflik yang terjadi saat ini tampak berlangsung antara Iran dan Israel.
Seperti diketahui, belum lama ini terjadi aksi saling serang antara Israel dan Iran. Kedua negara meluncurkan rudal jarak jauh yang menghancurkan sejumlah fasilitas militer dan infrastruktur ekonomi, serta menyebabkan jatuhnya korban jiwa di kedua belah pihak.
Pengamat hukum internasional Hikmahanto Juwana menyatakan bahwa secara faktual perang tersebut memang melibatkan aksi saling balas antara Israel dan Iran. Namun, dia menduga Amerika Serikat berada di balik eskalasi tersebut dan memiliki niat untuk menggempur Iran.
“Pada waktu Trump akan menjadi presiden, dia mengatakan, ‘Kalau saya nanti jadi presiden, gampang menyelesaikan masalah Gaza, yaitu saya akan serang Iran.’ Karena dalam pikiran Trump, Iran itu berada di balik Hamas yang melawan Israel di Gaza, serta mendukung Hezbollah dan Houthi,” ujarnya dalam program Broadcast di kanal YouTube Bisniscom, dikutip Senin (14/7/2025).
Hikmahanto menjelaskan bahwa sebelum pecah konflik terbuka antara Israel dan Iran, Amerika Serikat sempat membuka perundingan terkait program senjata nuklir Iran. Dalam proses itu, pihak Amerika menyampaikan ancaman bahwa apabila perundingan menemui jalan buntu, maka mereka akan menyerang Iran.
Berdasarkan rangkaian fakta tersebut, Hikmahanto menyimpulkan bahwa Amerika Serikat sesungguhnya memiliki keinginan untuk menyerang Iran, tetapi kesulitan menemukan dasar hukum internasional yang sah untuk melakukannya.
Baca Juga
Dalam konteks tersebut, menurut Hikmahanto, Amerika Serikat kemudian memanfaatkan posisi Israel, dengan menonjolkan argumen bahwa Iran berpotensi membangun senjata nuklir yang dapat digunakan untuk menyerang Israel.
Israel, katanya, mendasarkan tindakan militernya pada Pasal 51 Piagam PBB yang mengatur hak membela diri. Namun, imbuhnya, hak membela diri dalam pasal tersebut hanya dapat digunakan apabila sebuah negara benar-benar diserang lebih dahulu.
“Waktu itu Israel belum diserang oleh Iran, tapi Israel bilang, ‘Saya melakukan serangan ini karena saya tahu ada senjata pemusnah massal, nuklir, yang akan ditujukan kepada saya. Sebelum itu digunakan, saya akan serang duluan.’ Itu yang disebut anticipatory self-defense atau hak membela diri yang bersifat antisipatif,” jelasnya.
Pernyataan Israel tersebut tentu dibantah oleh Iran. Negara tersebut merupakan anggota dari perjanjian internasional yang dikenal dengan Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT). Perjanjian ini menyatakan bahwa negara yang belum memiliki senjata nuklir tidak diperbolehkan mengembangkannya, sementara negara yang telah memilikinya tidak boleh menyebarkan teknologi tersebut ke negara lain.
“Perjanjian itu juga mendorong negara-negara pemilik senjata nuklir untuk tidak membagikan ilmunya kepada negara-negara non-nuklir,” ujar Hikmahanto.
Dia menilai bahwa serangan Israel terhadap Iran masih tergolong proporsional karena menyasar instalasi militer yang diduga terlibat dalam pengembangan senjata nuklir, termasuk para ilmuwan serta petinggi Garda Revolusi Iran.
Sementara itu, Iran juga membalas serangan secara proporsional dengan menargetkan instalasi militer, sebagian di antaranya dikabarkan terletak di bawah bangunan sipil seperti rumah sakit.
“Jadi sekarang dunia baru tahu, ketika Israel menyerang rumah sakit di Gaza, itu karena mereka menduga ada instalasi militer di bawahnya seperti yang juga mereka miliki,” pungkas Hikmahanto.