Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Guru Besar Kedokteran Unand Padang Berharap Prabowo Evaluasi Kinerja Menkes

Ini alasan Guru Besar Kedokteran Unand minta Prabowo ganti Menkes Budi Gunadi Sadikin.
Presiden Prabowo Subianto meremsikan Kampus Bhineka Tunggal Ika Universitas Pertahanan pada Rabu (11/6/2025)/Youtube Sekretariat Presiden
Presiden Prabowo Subianto meremsikan Kampus Bhineka Tunggal Ika Universitas Pertahanan pada Rabu (11/6/2025)/Youtube Sekretariat Presiden

Bisnis.com, PADANG - Para guru besar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan termasuk di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas berharap agar Presiden RI Prabowo Subianto untuk mengevaluasi kinerja dari Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin

Salah seorang guru besar di Universitas Andalas, Prof. Masrul mengatakan semenjak munculnya penerapan Undang-undang No.17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan eranya Menkes Budi Gunadi Sadikin, kondisi perguruan tinggi terutama pendidikan kedokteran membuat suasana jadi gaduh, karena aturan tersebut membuat peran pendidikan kedokteran di perguruan tinggi jadi hilang.

“Bahkan jika tidak direspon juga, aksi jilid III, jilid IV, hingga ke jidil 100 akan terus kami lakukan. Karena kondisi pendidikan kedokteran saat ini sedang tidak baik-baik saja,” katanya, Jumat (11/6/2025).

Menurutnya ada beberapa pasal yang terdapat di dalam UU. No.17/2023 itu yang membuat peran perguruan tinggi melahirkan tenaga medis dan kesehatan jadi hilang, dan kemudian berdasarkan aturan tersebut, malah membuat peran dari Fakultas Kedokteran ini seperti menjadi lembaga pelatihan saja.

Masrul menyampaikan bicara soal kebutuhan dokter spesialis atau nakes dan sebagainya itu, bukan berarti untuk mendapatkan sumber daya manusia di bidang kesehatan ini dibuka tanpa ada standar tertentu.


Dia menilai menjadi dokter atau nakes itu, ada kode etik yang harus dipatuh, dan hal tersebut akan dibentuk melalui pendidikan berkarakter melalui kuliah di Fakultas Kedokteran.

“Jadi tidak bisa mencetak dokter dan nakes sebanyak-banyaknya tanpa ada standar tertentu. Karena kerja dokter dan nakes ini tanggung jawabnya besar, hidup dan mati pasien itu yang dihadapi mereka. Jadi dalam pelayanan kesehatan ini, tidak boleh asal-asalan,” tegasnya.

Dia juga melihat bahwa kebijakan dari Menkes tersebut benar-benar telah menimbulkan kegaduhan, dan bisa berdampak kepada harapan para mahasiswa yang kini tengah menjalani masa proses pendidikan di Fakultas Kedokteran dengan berbagai jurusan yang di dalamnya.

Dia berharap agar kegaduhan tersebut tidak terjadi berkepanjangan, sangat diharapkan tanggapan dan kebijakan dari Presiden Prabowo, sehingga dunia pendidikan kesehatan bisa berjalan dengan baik.

“Kami melihat Presiden Prabowo ini tidak senang yang namanya kegaduhan seperti ini. Sekarang persoalannya ada di Menkes, kalau bisa diganti saja Menteri Kesehatannya,” tutup Masrul.

Pandangan Hukum Sisi Pendidikan Kedokteran

Sementara itu, melihat dari sisi hukum, Pakar Hukum dari Universitas Andalas Khairul Fahmi menyatakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, secara prinsip dari sisi pendidikan tidak lagi sinkron dan melemahkan peran pendidikan kedokteran.

Menurutnya secara prinsipnya aturan tersebut terjadi pergeseran paradigma dari university based menjadi hospital based.

Artinya pendidikan kedokteran tidak lagi dalam skema pendidikan nasional, dari yang sebelumnya berada di bawah Kementerian Pendidikan dan beralih di bawah kewenangan Kementerian Kesehatan, dan hal ini lah yang memunculkan persoalan.

“Selama ini peran pendidikan kedokteran melalui Fakultas Kedokteran, dan itu telah jelas menyiapkan tenaga kesehatan yang siap bekerja, dan melalui pendidikan yang dijalani itu, telah membentuk diri memiliki pendidikan berkarakter. Karena di bagian pendidikan kesehatannya itu ada farmasi, keperawatan,” katanya.

Pasalnya, kata dia, pendidikan diletakan di bawah agenda pengadaan tenaga medis atau kesehatan.

Hal ini membuat peran Fakultas Kedokteran ditargetkan untuk menyiapkan sumber daya manusia saja, padahal Fakultas Kedokteran bisa menghadirkan riset dan lain-lainnya yang dapat memberikan manfaat kepada dunia kesehatan.

Bicara soal SDM kesehatan, kata dia, Fakultas Kedokteran itu sangat menjunjung tinggi kode etik, dan dalam menyiapkan tenaga kesehatan itu, dijalankan secara ketat, karena orang-orang yang akan terjun langsung di tengah masyarakat itu, akan menentukan hidup dan mati orang di sisi memberikan pelayanan kesehatan.

“Kini melalui undang-undang kesehatan itu, Kementerian Kesehatan menganggap pendidikan kesehatan ini lama melahirkan tenaga kesehatan. Sementara kondisi yang terjadi, pemerintah merasa tenaga kesehatan atau dokter spesialis lagi kurang. SolusI itu, bukan harus mengubah atau merevisi aturan yang telah ada, akibatnya malah tidak sinkron,” ujar Khairul Fahmi yang juga Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Andalas ini.

Dia menjelaskan tidak sinkron dimaksud yakni melihat pada UU No.20/2013 pendidikan kedokteran itu, menghasilkan dokter dan dokter gigi yang bermanfaat, bermutu, dan berkompeten.

Memenuhi kebutuhan dokter dan dokter gigi, serta meningkatkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran dan kedokteran gigi. 

Pada UU No.17/2023 itu dirancang hanya untuk pengadaan tenaga medis dan tenaga kesehatan.

Artinya tidak ada lagi pendidikan kedokteran, dan yang ada hanya pengadaan tenaga medis.

Dari hal itu, apabila Kemenkes berorientasi pada penempatan proses pendidikan sebagai sarana menyiapkan tenaga kerja pada sektor kesehatan, dan tidak lagi berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan tinggi sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 31 ayat (3) UUD 1945, UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi. 

“Jadi yang terjadi adalah mencampuradukan pendidikan dan penyediaan tenaga kerja medis dan nakes,” jelas Khairul Fahmi yang juga Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Selain itu dalam aturan yang terdahulu itu kan sudah jelas bahwa perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan dan bekerja sama dengan rumah sakit pendidikan dan wahana pendidikan kedokteran, serta perguruan tinggi wajib membentuk Fakultas Kedokteran atau Kedokteran Gigi oleh Universitas atau Institut.

Namun yang terjadi saat ini, UU No.17/2023 itu hanya mengatur pendidikan tinggi sebagai sarana pengadaan tenaga medis dan tenaga kesehatan.

Serta tidak diatur lagi tentang perguruan tinggi dan bentuk institusi pelaksana pendidikan tenaga medis dan tenaga kesehatan. 

Selanjutnya dalam PP 28/2024 dinyatakan, pendidikan tinggi tenaga medis dan nakes diselenggarakan perguruan tinggi bekerja sama dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Pasal 576) Kerjasama dituangkan dalam PKS, serta tidak ada lagi kewajiban membentuk FK dan/atau FKG.

“Kalau begitu, fakultas-fakultas kedokteran seakan tidak ada lagi sebagai penyelenggara dan pengelola pendidikan dalam satu rumpun ilmu, tapi melainkan sebagai unit pengadaan tenaga medis dan nakes saja,” ungkapnya.

Selanjutnya melihat pada aturan yang dulu, prodi kedokteran dan kedokteran gigi menerima mahasiswa sesuai dengan kuota nasional, atau dapat ditingkatkan kuota penerimaan dalam rangka penugasan penyiapan tenaga medis berdasarkan koordinasi dengan Menteri Kesehatan.

Seleksi mahasiswa baru serentak dengan penerimaan mahasiswa di seluruh perguruan tinggi negeri untuk PTN.

Sedangkan pada UU No.17/2023 itu, tidak ada yang diatur, dimana untuk seleksi peserta didik pendidikan tinggi tenaga medis dan nakes mencakup tes tertulis, wawancara dan/atau portofolio (Pasal 582 PP 28/2024).

Apabila hal ini jalan, maka penerimaan mahasiswa untuk kedokteran ini terpisah dengan perguruan tinggi lainnya (panitia bersama).

“Pendidikan medis dan nakes seakan ditempatkan sebagai pendidikan kedinasan, tetapi tetap dilaksanakan perguruan tinggi,” ucapnya.

Dia mencontohkan solusi yang seharusnya bisa dilakukan pemerintah untuk memperbanyak sumber daya manusia untuk kesehatan itu, misalnya pemerintah pusat memperbolehkan Fakultas Kedokteran untuk menambah daya tampung penerimaan mahasiswanya.

“Solusi yang tidak tepat itu lah yang kemudian memunculkan pergeseran paradigma, dan kini membuat para guru besar di Fakultas Kedokteran di indonesia menolak adanya aturan yang baru tersebut,” sambungnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper