Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KPK dan OJK Bahas Temuan Indikasi Fraud di BPD Rp451,19 Miliar

Menurut KPK, nilai indikasi fraud di BPD mencapai Rp451,19 miliar selama kurun waktu 2013-2023.
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Bisnis/Abdullah Azzam
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan indikasi permasalahan fraud dalam penyaluran kredit atau pembiayaan bermasalah di lingkungan Bank Pembangunan Daerah (BPD). Nilai indikasi fraud di BPD mencapai Rp451,19 miliar selama kurun waktu 2013-2023. 

Hal tersebut merupakan temuan hasil kajian Direktorat Monitoring pada Kedeputian Pencegahan dan Monitoring KPK di 2024 lalu. Kajian tersebut memetakan potensi korupsi pada BPD, khususnya terkait dengan penyaluran kredit dan penanganan kredit bermasalah. 

Temuan hasil kajian itu juga menjadi topik pembicaraan pada audiensi antara KPK dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) siang ini, Rabu (14/5/2025). Kedua lembaga akan membahas soal pencegahan korupsi pada sektor jasa keuangan. 

"KPK menemukan adanya enam permasalahan yang terindikasi fraud, kelalaian, dan/atau kelemahan regulasi dalam sejumlah kredit atau pembiayaan bermasalah di BPD yang dilakukan sampling," ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo melalui keterangannya, Rabu (14/5/2025).

Budi menjelaskan enam permasalahan terindikasi fraud hingga kelemahan regulasi itu masing-masing ditemukan pada BPD yang menjadi sampel untuk setiap kategori permasalahan.

6 Permasalahan Fraud BPR 

Pertama, masalah indikasi fraud dalam penyaluran kredit/pembiayaan bermasalah sebagaimana tercantum dalam Peraturan OJK atau POJK No.39 /POJK.03/2019. 

Dari 12 jenis fraud dalam penyaluran kredit/pembiayaan yang tercantum dalam POJK tersebut, ditemukan 4 jenis fraud yang terjadi pada BPD sampel pada rentang waktu 2013-2023: side streaming (penggunaan kredit/pembiayaan tidak sesuai peruntukkan), debitur fiktif, debitur topengan, dan rekayasa dokumen. 

"Dengan nilai total penyaluran kredit/pembiayaan sebesar Rp451,19 miliar," ungkap Budi.

Kedua, key person kredit/pembiayaan tidak dalam kepengurusan dan/atau bukan pemegang saham pengendali (PSP) perusahaan, baik langsung maupun tidak langsung. 

Hal itu terlihat dari 3 BPD yang menjadi sampel. Pada 3 BPD sampel itu, terdapat 4 penyaluran kredit macet selama 2013-2020 dengan nilai total Rp260 miliar yang analisis kelayakan pemberian kreditnya lebih menitikberatkan pada profil key person dibandingkan profil perusahaan (debitur), meskipun key person tersebut bukanlah pengurus dan/atau PSP perusahaan.

Alhasil, ketika terdapat permasalahan terhadap key person yang tidak termasuk dalam pengurusan perusahaan, misalnya meninggal dunia, debitur tidak melanjutkan pembayaran kewajibannya.

KPK menyimpulkan, permasalahan itu terjadi karena sebagian BPD sampel tidak mewajibkan key person masuk dalam kepengurusan dan/atau PSP perusahaan baik langsung maupun tidak langsung.

Ketiga, termin pembayaran tidak diterima bank. Pada 5 BPD yang menjadi sampel, terdapat 11 penyaluran kredit/pembiayaan modal kerja kolektibilitas macet 2013-2020 dengan nilai total sebesar Rp72 milliar. Kredit macet itu berkaitan dengan termin pembayaran proyek/pekerjaan tidak diterima bank.

Permasalahan tersebut umumnya terjadi pada pembiayaan di sektor konstruksi. Bentuknya ada tiga macam yakni: pengalihan rekening penerimaan pembayaran proyek/pekerjaan dari rekening BPD ke rekening bank lain tanpa sepengetahuan BPD; termin pembayaran proyek/pekerjaan yang masuk rekening penampungan tidak diblokir/dipotong oleh bank; dan pencairan kredit/pembiayaan jauh melebihi progres pekerjaan.

"Fraud pengalihan rekening pembayaran diduga terjadi karena persengkongkolan antara debitur dan perwakilan bouwheer (bohir), sedangkan dugaan fraud terkait tidak diblokirnya rekening penampungan melibatkan pejabat BPD," terang Budi. 

Di sisi lain, pencairan kredit/pembiayaan yang jauh melebihi progres dikarenakan sebagian regulasi BPD tidak mewajibkan pencairan fasilitas berdasarkan progres pekerjaan.

Keempat, usaha/debitur tidak feasible atau layak untuk dibiayai. Pada 5 BPD yang menjadi sampel, terdapat 6 penyaluran kredit/pembiayaan modal kerja dengan kolektibilitas macet tahun 2007-2022 senilai Rp224,7 milliar dan terindikasi tidak layak karena usaha/debiturnya. 

Permasalahan ini, terang Budi, terjadi karena di antaranya BPD mengabaikan karakter debitur, verifikasi dan validasi usaha tidak dilakukan dengan baik, pengabaian atas reviu risiko dan kepatuhan.

Kelima, jaminan untuk kredit/pembiayaan yang bermasalah. Terdapat jaminan yang bermasalah yang ditemukan pada sejumlah penyaluran kredit/pembiayaan senilai Rp234,4 miliar sepanjang tahun 2007-2022 yang berstatus macet.

Bentuk-bentuk jaminan bermasalah yang teridentifikasi, yaitu nilai jaminan di bawah nilai pencairan kredit/pembiayaan, jaminan tidak dimiliki/dikuasai debitur, serta dokumen kepemilikan agunan tidak dikuasai BPD. 

Kondisi tersebut terjadi diduga karena tidak dilakukannya penilaian berkala untuk jaminan dan ketidakharusan agunan yang diserahkan ke bank untuk dimiliki debitur/pihak yang terafiliasi debitur (kekerabatan/kepengurusan).

Keenam, adanya moral hazard dalam pembayaran kredit multi guna (KMG). Terdapat penyaluran kredit/pembiayaan multiguna di 4 BPD dengan total nilai Rp20,867 miliar kepada anggota DPRD Provinsi periode 2015-2019 dan 2019-2024 yang saat ini bersatus macet.

Hal ini disebabkan keengganan anggota DPRD Provinsi untuk melunasi kewajibannya, terutama ketika anggota DPRD tersebut terkena pergantian antar waktu (PAW).

PAW yang terjadi akibat kebijakan partai (sepanjang bukan karena keinginan sendiri maupun permasalahan hukum) telah dimitigasi risikonya dengan penggantian dari asuransi, namun untuk PAW yang di luar kriteria tersebut (misalnya pengunduran diri karena mencalonkan sebagai kepala/wakil kepala daerah) tidak dijamin asuransi. 

Selain itu juga, ditemukan bahwa sebagian anggota DPRD tidak melunasi kewajibannya meskipun tidak terkena PAW.

"BPD diduga tidak gencar melakukan penagihan terhadap para anggota DPRD tersebut dikarenakan mereka adalah anggota DPRD Provinsi dimana Pemerintah Provinsi merupakan pemegang saham pengendali BPD," terang Budi.

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper