Bisnis.com, JAKARTA-- Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) mengkritisi sikap Kementerian Kesehatan atau Kemenkes dalam kasus dugaan pencabulan yang dilakukan oleh salah satu dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
Kemenkes dinilai terlalu reaktif atas kasus asusila yang dilakukan oleh residen anestesi dari PPDS Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Priguna Anugerah Pratama.
Pasalnya, Kemenkes langsung bertindak dengan cara menghentikan sementara kegiatan PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran selama satu bulan.
"AIPKI mencermati bahwa ini adalah kali ketiga Kementerian Kesehatan mengambil langkah reaktif dengan menghentikan pendidikan PPDS di rumah sakit vertikal, termasuk yang masih berlangsung seperti PPDS Anestesi UNDIP dan PPDS Ilmu Penyakit Dalam di USRAT," tutur Ketua Umum AIPKI, Budi Santoso di Jakarta, Jumat (11/4).
Budi berharap pemerintah bisa mengambil kebijakan yang tepat, adil dan melihat dunia kedokteran serta memperhatikan dampak dari kebijakan tersebut.
"Kami berharap pemerintah mengambil kebijakan yang bijak, adil, dan mendukung keberlangsungan pendidikan kedokteran, serta mempertimbangkan dampak luas terhadap sistem pelayanan kesehatan nasional," katanya.
Baca Juga
Dia berpandangan bahwa Indonesia masih kekurangan dokter spesialis, sementara dari pihak pemerintah seringkali mengeluarkan kebijakan yang tidak tepat dan merugikan dunia dokter spesialis di Indonesia
"Oleh karena itu, pilihan untuk penutupan sementara program studi ketika ada tindakan pidana yang dilakukan oleh oknum peserta didik dari salah satu program studi tidak bijak dan dapat menghambat proses pendidikan serta menganggu pelayanan," ujarnya.
Penghentian Sementara
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan telah menginstruksikan kepada RSUP Hasan Sadikin (RSHS) menghentikan sementara kegiatan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran di lingkungan RSHS selama satu bulan.
Langkah ini diambil untuk mengevaluasi dan melakukan perbaikan pengawasan serta tata kelola setelah adanya tindak pidana kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh dr. PAP yang merupakan peserta PPDS Anestesiologi.
“Penghentian sementara ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi proses evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola dan sistem pengawasan PPDS di lingkungan RSHS,” kata Aji Muhawarman, Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes pada Kamis (10/04).
Kemenkes juga meminta pihak RSHS agar bekerjasama dengan FK Unpad untuk upaya-upaya perbaikan yang diperlukan sehingga insiden serupa atau tindakan-tindakan yang melanggar hukum dan etika kedokteran tidak terulang kembali.
Selain itu, Kemenkes juga akan mewajibkan seluruh Rumah Sakit Pendidikan Kemenkes untuk melakukan test kejiwaan berkala bagi peserta PPDS di seluruh angkatan. Tes ini diperlukan untuk menghindari manipulasi tes kejiwaan dan mengidentifikasi secara dini kesehatan jiwa peserta didik.
Sebagai bentuk komitmen dalam menjaga integritas profesi, Kemenkes sudah meminta Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) untuk segera mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) atas nama dr. PAP. Pencabutan STR ini secara otomatis akan membatalkan Surat Izin Praktik (SIP) yang bersangkutan.