Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Celios: Kenaikan Tarif PPN 12% jadi Catatan Hitam Jelang 100 Hari Pemerintahan Prabowo

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menilai bahwa penerapan tarif PPN 12% bakal menjadi catatan hitam jelang 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto.
Presiden Prabowo Subianto menghadiri acara penyerahan secara digital Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Buku Alokasi Transfer ke Daerah (TKD) Tahun Anggaran 2025, serta peluncuran Katalog Elektronik versi 6.0, yang digelar di Istana Negara, Jakarta, pada Selasa, 10 Desember 2024. Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr
Presiden Prabowo Subianto menghadiri acara penyerahan secara digital Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Buku Alokasi Transfer ke Daerah (TKD) Tahun Anggaran 2025, serta peluncuran Katalog Elektronik versi 6.0, yang digelar di Istana Negara, Jakarta, pada Selasa, 10 Desember 2024. Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr

Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai bahwa penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% bakal menjadi catatan hitam jelang 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto.

Dia mengatakan bahwa penerapan kebijakan yang bakal dimulai per 1 Januari 2024 memberikan efek yang luas terhadap masyarakat. Apalagi,  pelaku usaha juga melayangkan protes keras terhadap langkah tersebut.

“PPN 12% akan jadi catatan hitam paling bersejarah di 100 hari pemerintahan prabowo gibran. Karena efek nya luas ke masyarakat, pelaku usaha juga protes ini ibaratnya program Prabowo mengorbankan banyak pihak,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (24/12/2024).

Menurutnya, terdapat 3 faktor utama yang membuat pemerintah memaksakan untuk menerapkan PPN 12%. Pertama, pemerintah sedang butuh penerimaan pajak untuk biayai kebutuhan pembayaran bunga dan utang jatuh tempo.

Apalagi, kata Bhima, total debt service tahun depan mencapai Rp1.300 triliun setara 59,3% total target penerimaan perpajakan 2025.

“Utang ini jadi masalah serius kalau sampai pemerintah gagal bayar utang bisa sentimen negatif di pasar keuangan, rupiah bisa melemah drastis,” katanya.

Kedua, Bhima melanjutkan bahwa kebutuhan program quick win seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan lumbung pangan atau food estate akan menguras anggaran yang sangat besar.

Pemerintah akhirnya mencari jalan pintas dengan menganggap PPN sebagai solusi menambal defisit apbn yang nyaris menyentuh 3% karena besarnya dana untuk program 2025.

Bhima pun menyebut bahwa alasan terakhir kenaikan tarif PPN 12% dianggap cara paling mudah mendapatkan pemasukan baru dibanding kerja keras lainnya seperti mengejar kepatuhan pajak dan memajaki kekayaan.

“Pemerintah ini kan tidak mau susah mikir, suka jalan pintas, maka siapapun bisa dengan mudah naikan tarif pajak. Sementara kejar pajak kekayaan /wealth tax butuh kerja ekstra untuk cocokkan data, penagihan hingga mengejar aset di luar negeri. Karena malas, maka yang diburu adalah wajib pajak eksisting,” pungkas Bhima.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Akbar Evandio
Editor : Muhammad Ridwan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper