Plt Kepala Pemeriksaan Laporan Keasistenan Utama VI Ombudsman Republik Indonesia, Ahmad Sobirin mengaku kaget atas temuan kecurangan perusakan sistem seleksi calon aparatur sipil negara (CASN) atau calon pegawai negeri sipil (CPNS) 2021 dengan modus remote access. Peristiwa kecurangan itu sendiri terjadi di beberapa titik lokasi mandiri instansi Pemerintah Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.
"Terkait peristiwa di Sulteng kami merasa kaget dan terkejut, bahwa ternyata dalam proses seleksi ada kejadian atau modus peretasan acces. Ada penanaman alat tertentu atau aplikasi tertentu mengakibatkan seseorang dapat mengerjakan dari tempat lain seakan-akan soal itu dikerjakan peserta," ujarnya dalam konferensi pers virtual, dikutip dari Youtube Ombudsman, Selasa (15/11/2021).
Ombudsman menemukan, bahwa faktor ketidakhati-hatian pemerintah daerah setempat dalam mempersiapkan pengamanan IT mengakibatkan aksi peretasan mudah dilakukan. Akibatnya, peristiwa kecurangan tersebut tidak dapat dihindari.
"Kami memandang bahwa kelemahan IT dari pada pelaksanaan menjadi bukti bahwa memang Pemda kurang berhati-hati dan kurang menerapkan sistem pengaman teknologi informasi. Sehingga, dalam proses seleksi ini ada kejadian atau modus berupa peretasan acces," ungkapnya.
Ombudsman mencatat sebanyak 273 laporan terkait rekrutmen CASN atau CPNS 2021. Laporan tersebut dihimpun dari 34 posko perwakilan Ombudsman di seluruh Indonesia
"Terkait dengan isu CASN 2021, Ombudsman telah menerima laporan dari posko CASN 2021 sebanyak 273 laporan dari seluruh Indonesia," ujar Ahmad Sobirin.
Kemendikbudristek menjadi instansi yang paling banyak dilaporkan mengalami kecurangan tes CPNS 2021. Adapun total laporan yang ditujukan kepada kementerian yang dipimpin oleh Nadiem Makarim itu sebanyak 63 kasus.
"Laporan di Kemendikbud itu tertinggi ada 63 laporan. Kemudian, Kemendes PDTT, Kemenag, Kemenhub, Bawaslu, BIN, BKBN, dan lainnya," ucapnya.
Laporan yang paling banyak diadukan peserta CPNS 2021 yaitu mengenai ketidaksesuaian ijazah dengan kualifikasi pendidikan. Lalu, tidak melengkapi dokumen persyaratan administrasi, ketidaksesuaian sertifikat akreditasi, dan materai bermasalah.
"Selanjutnya, kendala ujian ulang/susulan SKD, format surat pernyataan tidak sesuai, inkompetensi verifikator dalam menjawab sanggahan, formasi PPPK Guru, tidak sinkronnya NIK, hingga ketidaksesuaian IPK," ujarnya.