Bisnis.com, JAKARTA - BRICS merupakan kelompok kekuatan baru negara berkembang yang secara kolektif mendorong terbentuknya tatanan dunia yang lebih adil, setara, dan inklusif.
BRICS didirikan pada 2009 dan telah berkembang menjadi aliansi strategis dengan agenda konkret seperti pendirian New Development Bank (NDB), pengembangan sistem pembayaran alternatif, serta wacana pembentukan mata uang baru yang mengurangi dominasi dolar AS dalam transaksi internasional.
Pada 6 Januari 2025, Indonesia resmi diterima sebagai anggota penuh BRICS dan turut hadir dalam KTT BRICS ke-17 di Rio de Janeiro pada 6–7 Juli 2025, yang menjadi momen perdana keikutsertaan Indonesia. BRICS kini beranggotakan 11 negara: Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, Etiopia, Iran, dan Indonesia, dengan representasi lebih dari 50% populasi dunia dan sekitar 35% dari PDB global.
Industri asuransi dan reasuransi global saat ini didominasi oleh perusahaan dari segelintir negara maju, dengan 10 perusahaan teratas menguasai sekitar 61% pangsa pasar dunia, sementara kontribusi negara-negara BRICS hanya sekitar 3,2% dari total premi bruto global (BRICS, 2024).
Ketimpangan ini mendorong para pemimpin BRICS dalam Deklarasi Kazan 2024 untuk menyepakati studi kelayakan pembentukan kapasitas reasuransi independen BRICS, termasuk inisiatif pendirian perusahaan (re)asuransi dan infrastruktur penyelesaian serta depositari lintas batas.
Langkah strategis ini kemudian diperkuat dalam Deklarasi Rio 2025, di mana salah satu agenda penting adalah penguatan kapasitas asuransi dan reasuransi di negara-negara BRICS. Dalam paragraf 51, para pemimpin menyambut baik diskusi untuk memperkuat kapasitas asuransi dan reasuransi negara-negara BRICS, yang melibatkan partisipasi sukarela dari para pemangku kepentingan terkait, seperti otoritas regulator, perusahaan reasuransi dari negara BRICS, dan BRICS Business Council melalui kelompok kerja yang didukung oleh para Menteri Keuangan.
Baca Juga
Mereka juga mendorong dilakukannya pembahasan lebih lanjut untuk mencari format yang tepat guna mendalami aspek teknis terkait sistem penyelesaian dan infrastruktur depositari yang menyimpan dana jaminan atau kolateral untuk reasuransi lintas batas.
Peluang & Tantangan
Bagi Indonesia, hal ini merupakan peluang besar. Per Mei 2025, industri asuransi nasional mencatat total 148 perusahaan terdiri dari 58 asuransi jiwa, 77 asuransi umum, 9 perusahaan reasuransi, serta 4 badan penyelenggara asuransi sosial dan wajib. Seluruh perusahaan reasuransi di Indonesia saat ini masih merupakan entitas domestik, tanpa kehadiran joint venture.
Sementara itu, sekitar 40% premi reasuransi Indonesia masih mengalir ke luar negeri, menghasilkan defisit neraca pembayaran sebesar Rp12,1 triliun pada 2024. Hal ini merupakan sinyal bahwa kapasitas domestik dalam menyerap dan mendistribusikan risiko masih terbatas.
Di sisi lain, industri asuransi nasional terus tumbuh. Total aset industri mencapai Rp1.163,62 triliun, meningkat 3,84% secara tahunan, dengan premi bruto mencapai Rp217,17 triliun dan klaim sebesar Rp164,44 triliun. Rasio klaim yang berada di 75,72% menunjukkan pengelolaan risiko yang cukup sehat.
Jumlah polis aktif meningkat signifikan hingga 481,38 juta polis, tumbuh 12% dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, jika dibandingkan secara regional, Indonesia masih tertinggal. Rasio aset terhadap PDB hanya 5,12%, dan penetrasi premi 2,84%. Angka ini jauh di bawah Singapura (53,3% dan 12,5%) maupun Malaysia (45,2% dan 3,8%).
Menjawab tantangan ini, OJK telah menerbitkan POJK 23 Tahun 2023 yang mewajibkan perusahaan asuransi dan reasuransi untuk meningkatkan modal minimum secara bertahap hingga 2028. Melalui klasifikasi Kelompok Perusahaan Perasuransian Berdasarkan Ekuitas (KPPE), perusahaan asuransi KPPE 1 wajib memiliki ekuitas minimum Rp500 miliar, sedangkan KPPE 2 sebesar Rp1 triliun.
Untuk perusahaan reasuransi, ekuitas minimum masing-masing Rp1 triliun dan Rp2 triliun untuk KPPE 1 dan KPPE 2. Kebijakan ini bertujuan memperkuat ketahanan, kapasitas dan kapabilitas industri asuransi dan reasuransi nasional.
Namun, penguatan domestik saja tidak cukup. Melalui BRICS, Indonesia memiliki peluang untuk mendorong kolaborasi yang setara dan konstruktif. Beberapa inisiatif dapat diajukan seperti pembentukan BRICS Catastrophe Pool sebagai mekanisme risk-sharing atas risiko bencana dan iklim.
PT. Reasuransi MAIPARK Indonesia dapat menjadi model reasuransi bencana berbasis industri yang bisa direplikasi di BRICS, serta pengembangan services hub untuk layanan pemodelan risiko, dan data analytics antar sesama anggota BRICS, dan juga pengembangan mekanisme deposit atau kolateral untuk reasuransi lintas batas yang saat ini sudah berlaku di Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.
Indonesia juga dapat mendorong masuknya perusahaan asuransi dan reasuransi dari negara BRICS ke pasar dalam negeri melalui skema insentif fiskal dan regulasi yang atraktif.
Keanggotaan Indonesia dalam BRICS bukan sekadar simbol, tetapi peluang strategis untuk berperan aktif dalam merancang sistem perlindungan risiko global dari perspektif negara berkembang.