Bisnis.com, JAKARTA — Serangan Amerika Serikat (AS) terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran terjadi pada saat yang rentan bagi ekonomi global, dan prospek ke depan kini bergantung pada seberapa keras Republik Islam Iran membalas.
Bank Dunia, Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD), dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), semuanya telah menurunkan proyeksi pertumbuhan global mereka dalam beberapa bulan terakhir.
Kenaikan signifikan harga minyak atau gas alam, atau gangguan perdagangan akibat eskalasi lebih lanjut konflik, akan menjadi hambatan tambahan bagi perekonomian dunia.
Analis Bloomberg Economics, termasuk Ziad Daoud dalam sebuah laporan, menyampaikan saat ini yang perlu dipantau adalah bagaimana Tehran merespons serangan Washington. Serangan ini kemungkinan besar akan mendorong konflik ke jalur eskalasi.
Alhasil kondisi ini bakal meningkatkan ekonomi yang telah direvisi ke bawah oleh lembaga-lembaga internasional tersebut. “Bagi ekonomi global, konflik yang meluas menambah risiko kenaikan harga minyak dan dorongan inflasi ke atas,” ujarnya, dikutip dari Bloomberg, Minggu (22/6/2025).
Risiko geopolitik yang meningkat bersinggungan dengan potensi eskalasi tarif dalam beberapa minggu ke depan, karena penangguhan tarif “timbal balik” yang besar oleh Presiden Donald Trump akan berakhir.
Baca Juga
Dampak ekonomi terbesar dari konflik berkepanjangan di Timur Tengah kemungkinan akan dirasakan melalui lonjakan harga minyak.
Setelah serangan AS, produk derivatif yang memungkinkan investor berspekulasi tentang fluktuasi harga minyak mentah melonjak 8,8% di IG Weekend Markets.
Jika pergerakan tersebut bertahan saat perdagangan dibuka kembali, analis IG Tony Sycamore memperkirakan kontrak berjangka minyak mentah WTI akan dibuka sekitar $80 per barel.
Banyak hal akan bergantung pada peristiwa jangka pendek. Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi mengatakan serangan AS tidak dapat diterima dan akan memiliki konsekuensi abadi.
Dia mengutip Piagam PBB tentang ketentuan pertahanan diri dan mengatakan Iran mempertahankan semua opsi untuk mempertahankan kedaulatan, kepentingan, dan rakyatnya.
Opsi Respons Iran
Bloomberg Economics melihat adanya tiga opsi yang mungkin Iran lakukan untuk merespons serangan Trump.
Pertama, merespons dengan serangan terhadap personel dan aset AS di wilayah tersebut. Kedua,penyerangan menargetkan infrastruktur energi regional. Ketiga, menutup Selat Hormuz, titik krusial maritim, menggunakan ranjau bawah air atau mengganggu kapal yang melintas.
Ekonom Bloomberg Ziad Daoud, Tom Orlik, dan Jennifer Welch bahkan melihat apabila Iran memilik skenario ketiga—paling ekstrem—harga minyak mentah dapat melonjak melebihi $130 per barel.
Bahkan hal ini dapat mendorong inflasi AS mendekati 4% pada musim panas, memaksa bank sentral AS The Fed dan bank sentral lain menunda waktu pemotongan suku bunga di masa depan.
Sekitar seperlima pasokan minyak harian dunia melewati Selat Hormuz, yang terletak antara Iran dan negara-negara Arab Teluk seperti Arab Saudi.
AS adalah eksportir minyak. Namun, harga minyak mentah yang lebih tinggi hanya akan menambah tantangan yang sudah dihadapi ekonomi AS.
The Fed memperbarui proyeksi ekonominya pekan lalu, menurunkan perkiraan pertumbuhan AS tahun ini menjadi 1,4% dari 1,7% saat pembuat kebijakan mempertimbangkan dampak tarif Trump terhadap harga dan pertumbuhan.
Di sampin gitu, China sebagai pembeli terbesar ekspor minyak Iran akan menghadapi konsekuensi paling jelas dari gangguan aliran minyak, meskipun cadangan saat ini mungkin memberikan sedikit kelonggaran.
Gangguan pada pengiriman melalui Selat Hormuz juga akan berdampak signifikan pada pasar gas alam cair global.
Qatar, yang menyumbang sekitar 20% dari perdagangan LNG global, menggunakan rute ini untuk ekspor dan tidak memiliki alternatif lain. Hal ini akan membuat pasar LNG global sangat ketat, mendorong harga gas di Eropa naik secara signifikan, seperti yang dicatat oleh Bloomberg Economics.
Meskipun investor mungkin khawatir pasokan dapat terganggu jika konflik meningkat, anggota OPEC+, termasuk pemimpin de facto Saudi Arabia, masih memiliki kapasitas cadangan yang melimpah yang dapat diaktifkan.
Selain itu, Badan Energi Internasional (IEA) mungkin memilih untuk mengoordinasikan pelepasan cadangan darurat untuk mencoba menenangkan harga.
Direktur riset makro global di Oxford Economics Ben May dalam laporan sebelum eskalasi terbaru, menyebutkan bahwa ketegangan di Timur Tengah mewakili guncangan negatif lain bagi ekonomi global yang sudah lemah.
“Harga minyak yang lebih tinggi dan kenaikan inflasi CPI yang terkait akan menjadi masalah besar bagi bank sentral,” tuturnya.