Bisnis.com, JAKARTA — Istana Kepresidenan menegaskan bahwa gejolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Pati, Jawa Tengah oleh Bupati Pati Sudewo tidak terkait langsung dengan kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat.
Kepala Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO) Hasan Nasbi menekankan bahwa kebijakan penaikan PBB-P2 tersebut merupakan kewenangan penuh pemerintah daerah.
“Untuk kejadian yang di Pati, kami berharap ini bisa diselesaikan dengan baik. Semua pihak bisa berdialog, bertemu dengan kepala dingin, dengan pikiran hati yang tenang untuk bisa menyelesaikan persoalan ini dengan baik,” kata Hasan saat memberikan keterangan pers di Ruang Visualisasi lantai 15, Kantor PCO, Gedung Kwarnas, Gambir, Jakarta, Kamis (14/8/2025).
Hasan membantah pandangan yang mengaitkan kenaikan PBB di Pati dengan kebijakan efisiensi yang dilakukan pemerintah pusat pada awal 2025.
Menurutnya bahwa tuduhan terkait dengan hal-hal yang dilakukan oleh beberapa pemerintah daerah untuk menaikkan pajak bukan berimbas karena efisiensi yang dilakukan pemerintah yang disebabkan dana yang ditransfer ke daerah minim, sehingga pembangunan terhambat yang pada ujungnya memaksa pemerintah daerah melakukan pengambilan anggaran di sektor lain.
Oleh sebab itu, Hasan menilai bahwa terkait dengan kebijakan efisiensi menjadi momok pemerintah daerah untuk menaikkan pajak demi mendulang pemasukan merupakan sebuah tanggapan yang prematur.
Baca Juga
“Efisiensi awal 2025 itu tidak hanya untuk satu kabupaten kota, tidak hanya untuk dua kabupaten kota, tapi untuk lima ratusan kabupaten kota. Untuk seluruh kementerian dan lembaga yang ada di pemerintah pusat. Jadi kalau ada kejadian spesifik, satu kejadian, seperti yang terjadi di Pati, ini adalah murni dinamika lokal,” tegasnya.
Dia menjelaskan, penentuan tarif PBB-P2 (Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan) berada di tangan pemerintah daerah melalui peraturan daerah (perda) yang disepakati bersama DPRD. Beberapa perda terkait tarif PBB bahkan telah ditetapkan sejak 2023 atau 2024, dan baru dijalankan pada tahun ini.
Menurutnya, kalau ada kebijakan kenaikan PBB, itu adalah hasil kesepakatan bupati dan DPRD sebagai pejabat publik yang dipilih rakyat. Sehingga tidak tepat jika langsung dikaitkan dengan kebijakan efisiensi pemerintah pusat.
Hasan menambahkan porsi efisiensi anggaran pemerintah pusat terhadap dana yang dikelola pemerintah daerah relatif kecil, hanya sekitar 4–5%.
“Ini kan satu peristiwa. Maka satu peristiwa ini lebih baik dimaknai sebagai dinamika di tingkat lokal. Tidak dihubungkan dengan kebijakan pemerintah pusat soal efisiensi. Karena sebenarnya efisiensi ini hanya mungkin 4% atau% saja, dari anggaran yang biasa dikelola oleh pemerintah daerah. Kira-kira seperti itu,” pungkas Hasan.