Bisnis.com, JAKARTA — Publik membutuhkan penjelasan dari Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, tentang proses perubahan dalam narasi sejarah ‘resmi’ yang tengah disusun oleh pemerintah. Narasi ‘resmi’ sejarah sudah sepatutnya tidak mengulang versi Orde Baru, yang cenderung hanya untuk melegitimasi kepentingan penguasa. Sejarah harus mewakili semua elemen anak bangsa, baik dan buruknya.
Adapun, perdebatan tentang penulisan sejarah resmi itu semakin sering muncul ke publik. Pada Senin kemarin, misalnya, Menteri Kebudayaan Fadli Zon mendapat rentetan pertanyaan dari anggota Komisi X DPR, Bonnie Triyana. Dia mengkritisi diksi ‘Indonesiasentris’ yang dipakai Fadli Zon dalam penulisan sejarah kali ini. Selain itu, Bonnie juga menyoroti tentang kebaruan kajian dalam buku yang digadang-gadang akan menjadi babon atau rujukan utama dalam memahami sejarah Indonesia.
“Apa yang baru dari buku ini, dari buku ini. Apabila, buku ini hanya kompilasi sumber sekunder, maka saya pikir ya mubazir. Bagaimanapun proyek ini adalah menggunakan uang rakyat,” ujar Bonnie.
Sekadar catatan, proyek sejarah ‘resmi’ era Presiden Prabowo Subianto menelan anggaran senilai Rp9 miliar. Proyek ini melibatkan sejumlah guru besar dan tim ahli dari kalangan sejarah maupun disiplin ilmu lainnya. Sejumlah akademisi maupun sejarawan yang terlibat antara lain, Susanto Zuhdi dari Universitas Indonesia (UI), Singgih Tri Sulistoyono dari Universitas Diponegoro, hingga Jajat Burhanuddin dari UIN Syarif Hidayatullah.
Kalau merujuk kepada penjelasan pemerintah di DPR, revisi sejarah atau penulisan ulang sejarah resmi versi pemerintahan Prabowo membuat sejumlah substansi. Pertama, menghapus bias kolinial dan menegaskan perspektif Indonesiasentris. Kedua, menjawab tantangan kekinian dan globalisasi. Ketiga, membentuk identitas nasional yang kuat. Keempat, menegaskan otonomi sejarah. Kelima, relevansi untuk generasi muda. Keenam, reinventing Indonesian Identity.
Terkait hal itu, Bonnie mengemukakan bahwa poin pertama tentang Indonesiasentris, sejatinya bukan suatu yang baru. “Itu bahkan sejak Seminar Sejarah pertama tahun 1957, memang sudah Indonesiasentris. Itu kan sudah pernah,” jelasnya.
Baca Juga
Sementara itu, di kalangan publik, belakangan ini muncul kekhawatiran mengenai berbagai macam substansi di dalam proses penyusunan narasi sejarah resmi tersebut. Para aktivis perempuan, misalnya, mengkritisi ‘hilangnya’ sejumlah poin tentang perempuan di dalam sejarah. Sementara itu, Marzuki Darusman beserta sejumlah sejarawan maupun aktivis lainnya, khawatir ada proses naturalisasi sejarah dan pembelokan sejarah untuk melegitimasi kekuasaan tertentu.
Adapun, Marzuki Cs menuding bahwa proses revisi sejarah yang sedang berlangsung bertujuan untuk merekayasa masa lalu bangsa Indonesia dengan tafsir tunggal. Pemerintah, kata dia, juga ingin menegakkan suatu rekonstruksi sejarah tertentu, sehingga melahirkan ilusi bahwa pemerintah seolah mendapat mandat bangsa untuk menegakkan sejarah yang dirancangnya.
“Tindakan itu merupakan cara halus pemerintah untuk mengontrol pemikiran rakyat dan memonopoli kebenaran atas sejarah bangsa,” beber Marzuki.
Apa Jawaban Fadli Zon?
Fadli Zon telah memberikan jawaban terkait berbagai macam kritikan publik terkait rencana penulisan sejarah versi pemerintahan Prabowo Subianto. Soal perempuan misalnya, Fadli menegaskan tidak ada penghapusan peristiwa Kongres Perempuan Indonesia 1928 dalam rencana penulisan sejarah Indonesia.
Menurutnya, informasi soal penghapusan tersebut di media sosial adalah berita palsu atau hoaks yang dapat menyesatkan publik. “Misalnya tadi yang disampaikan ada upaya untuk menghilangkan kongres perempuan. Padahal justru kita ingin memperkuat adanya keterlibatan perempuan di dalam sejarah itu,” tegasnya saat rapat dengan Komisi X DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (26/5/2025).
Lebih lanjut, Fadli Zon menekankan yang pihaknya ingin susun saat ini adalah sejarah versi Indonesia alias melalui perspektif Indonesia.
Mantan Wakil Ketua DPR ini berpandangan sejarah bukan hanya sekadar caratan masa lalu, tetapi sejarah telah menjadi jembatan yang menghubungkan identitas nasional, kebijakan politik, dan perjuangan kolektif.
“Lalu masih ada narasi sejarah yang kita pelajari belum sepenuhnya membebaskan diri dari perspektif kolonial, kurang menjawab tantangan kekinian dan globalisasi, sehingga sering dipandang kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat modern terutama generasi muda,” ujar Fadli Zon.
Politikus Gerindra ini menyoroti saat ini banyak generasi muda yang mungkin belum memahami sejarah Indonesia. Bahkan ada beberapa dari mereka yang tidak tahu bahwa Presiden ke-1 RI Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta adalah dua orang yang berbeda.
“Itu sebagai contoh saja bagaimana di era globalisasi yang informasi ini sangat masif, kalau kita tidak menuliskan sejarah ini, mungkin akan kesulitan,” tuturnya.
Meski demikian, dia turut menyebut bahwa sejarah yang pihaknya kini susun dengan memiliki 11 jilid hanyalah bersifat garis besarnya saja. “Tentu saja sejarah yang ditulis ini adalah sejarah yang sifatnya highlight, garis besar. Tidak menulis secara terlalu detail. Karena kalau terlalu detail mugkin kita memerlukam lebih dari 100 jilid, tidak selesai,” tutupnya.