Bisnis.com, JAKARTA - Jorge Mario Bergoglio, yang menjadi Paus Fransiskus memang sudah berbeda sejak kecil. Dia adalah anak dari keluarga imigran Italia yang pindah ke Buenos Aires, Argentina.
Ayahnya, Mario, bekerja sebagai akuntan di perusahaan kereta api, sedangkan Regina Sivori, ibunya adalah ibu rumah tangga untuk lima anak.
Dia lahir di Flores pada 17 Desember 1936, pinggiran Buenos Aires, di antara perkampungan kumuh dan kota. Sejak kecil, dia sudah terbiasa berjalan kaki, naik kendaraan umum dan kereta, yang pada akhirnya terus dipertahankan hingga menjadi paus.
Bergoglio memilih tinggal di apartemen sederhana di Gedung Curia, daripada istana keuskupan di Buenos Aires. Dia menyiapkan makanannya sendiri, terutama buah, sayuran, ayam, dan sesekali ditemani segelas anggur.
Itulah pula alasannya, sebagai Paus, dia memilih tinggal di Wisma Domus Sanctae Martae daripada apartemen kepausan di Istana Apostolik, seperti para pendahulunya. “Umat saya miskin dan saya adalah salah satu dari mereka,” katanya lebih dari sekali.
Bridget Gleeson, koresponden BBC, dua hari setelah Bergoglio menjadi Paus, menulis, “Beberapa minggu yang lalu, dia menumpang kereta bawah tanah menuju tempat kerja seperti warga lainnya. Namun, pada Rabu 13 Maret 2013, Bergoglio menjadi Paus Fransiskus I, paus Jesuit pertama dan paus pertama dari Amerika Latin, dan dunia dibuat terpaku dengan karier kardinal berusia 76 tahun ini.”
Baca Juga
Dengan Amerika Latinnya, tidak heran muncul pertanyaan besar: Apakah Bergoglio akan berubah menjadi Paus atau Paus yang berubah seperti Bergoglio?
Haruslah diingat bahwa Bergoglio dan hampir semua pemimpin agama dan politik di Argentina pada masanya adalah produk imigran. Sejak kecil mereka adalah korban, yang membawa stigma imigran dalam hidupnya.
Karakter Katolik Argentina adalah antiliberalisme, antikomunisme, keras mengkritik kapitalisme dan globalisasi yang berlebihan. Manifestasi ekonominya hingga menentang peran IMF dan World Bank yang dianggap mengontrol ekonomi Argentina.
Sementara itu, gaya pastoral Katolik Argentina adalah “pastoral rakyat” (people’s pastoral). Gereja mendorong gerakan untuk terlibat dalam dunia orang miskin. Karena itu, tema-tema seperti perbudakan manusia, perdagangan manusia, dan kemiskinan adalah makanan harian.
Tidak heran jika satu-satunya kemewahan Paus Fransiskus adalah kesederhanaannya, dimana kita menyaksikan sendiri dari mobil Innova putih, tumpangan sejuta umat itu menjadi pilihan dari pemimpin 1,39 miliar umat Katolik sedunia tersebut.
Tetapi lebih dari itu, arti dari kesederhanaan Paus Fransiskus memiliki makna yang jauh lebih sakti dan bermartabat, dan tentu saja menjadi salah satu pesan kuat yang terus ditampilkan sepanjang periode kepausannya.
Kesederhanaan, bagi Paus Fransiskus, harusnya menjadi dasar ekonomi baru. Karena model ekonomi saat ini membuat dunia terlena dalam “budaya membuang sampah.”
Budaya membuang sampah berasal dari keinginan yang tak teratur, terus menerus, dan maniak. Dengan demikian, ada barang yang pantas untuk “dipakai” dan “dibuang,” yang pada akhirnya menghasilkan “sampah.”
Kehidupan masa kini dalam segala dimensi ditentukan oleh penilaian “berguna” atau “tidak berguna,” “layak” atau “tidak layak.” Yang tak berguna dan tak layak sepantasnya dibuang.
Kemewahan yang dibangun atas dasar konsumerisme itu mendatangkan sampah modern: anak yang tidak diinginkan orang tuanya dibuang, orang tua yang tidak produktif dan membebani disingkirkan, orang miskin dikucilkan, perempuan dilecehkan, muncul perbudakan modern, perdagangan manusia, para imigran yang ditolak, dan lingkungan yang rusak.
Jadi, soal membuang sampah, bukanlah semata-mata masalah lingkungan, tetapi terutama adalah soal kemanusiaan. Perlu tekad yang besar untuk mengatasi budaya membuang sampah ini yang menjadi akar penghambat upaya untuk mengatasi masalah kemanusiaan dan lingkungan masa kini.
Dengan kaca mata kesederhanaan itu pula, Paus Fransiskus memahat ulang pintu Gereja Katolik dari Vatikan. Dia mengubah gagang pintunya menjadi lebih mudah dibuka.
Prinsipnya adalah sebuah pintu dibangun untuk dibuka, bukan ditutup untuk selamanya. Semua orang dalam situasi dan kondisi apapun berhak melalui pintu tersebut. Karena kunci utama pintu itu adalah belas kasih dan sukacita. Orang yang melalui pintu itu, harus pulang tidak seperti orang kembali dari pemakaman.
Gaya kepausan ini tak pelak mengundang kontroversi. Paus Fransiskus disebut “melembek” terhadap ajaran moral Gereja Katolik tentang aborsi, perceraian, pernikahan sesama jenis, hingga peran perempuan di sekitar altar.
Tetapi, hingga akhir hayatnya, moral tradisional tersebut tidak pernah ditarik atau diubah dari kepausannya. Karena yang dimodifikasi Paus Fransiskus hanyalah sebuah pintu, sehingga tidak lagi ada penghakiman, pengucilan, stigma.
Pintu itu digunakan Paus Fransiskus untuk menjangkau semua orang, tak terkecuali. “Saya lebih menyukai Gereja yang memar, terluka dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan, daripada Gereja yang sakit karena menutup diri dan nyaman melekat pada rasa amannya sendiri. Saya tidak menginginkan Gereja yang berambisi menjadi pusat dan berakhir dengan terperangkap dalam jerat obsesi dan prosedur.”
Di Masjid Istiglal, Paus Fransiskus berbicara soal rumah besar umat manusia. Terowongan Silahturahmi menjadikan dua tempat ibadah tidak lagi hanya saling berhadapan, tetapi juga terhubung.
Terowongan itu menjadi perjumpaan, menciptakan ikatan, titik temu, dan pengakuan akan perbedaan yang mempersatukan.
Harta paling berharga dari bumi Nusantara menurut Paus Fransiskus adalah kemauan agar perbedaan itu tidak menjadi alasan untuk bertikai. Karena itu, dia menegaskan, Indonesia jangan pernah memiskinkan diri dari kekayaan besar ini.
Pada Kongres Ke-7 Pemuka Agama Dunia di Kazakhstan, dia mengatakan, “Mari kita berkomitmen untuk menyelesaikan konflik bukan dengan alat kekuasaan, dengan senjata dan ancaman, melainkan dengan cara yang direstui surga dan kemanusiaan, yaitu perjumpaan, dialog, dan negosiasi yang sabar.”
Pada dasarnya, dia ingin mengatakan, agama tidak boleh menjadi senjata, yang pelatuknya ditarik oleh manusia atau pemegang kekuasaan, dan mengorbankan manusia lainnya. Agama itu sesederhana sebuah perjumpaan, untuk saling mengenal untuk berbagi.
Itulah pintu perjumpaan yang terus menerus diupayakan Paus Fransiskus. Tanpa ada diskriminasi, penghakiman, pengucilan, kekerasan, dan stigma.
Sede Vacante, Tahta Suci Santo Petrus di Vatikan sedang kosong. Sekali lagi dunia menanti siapa yang akan naik tahta: entah sebagai pemimpin atau yang layak disebut sebagai pelayan bagi dunia.