Bisnis.com, JAKARTA — Kesederhanaan menjadi salah satu ciri yang melekat erat pada diri Paus Fransiskus.
Di balik kesahajaannya itu pula tampak transformasi diri pria bernama asli Jorge Mario Bergoglio yang akhirnya diwujudkan dalam transformasi Gereja Katolik pada masa kepemimpinannya sebagai paus.
Kesederhanaan itu misalnya tecermin dari pilihannya untuk mengenakan sepatu hitam, alih-alih menggunakan sepatu merah khas kepausan yang menjadi tradisi berabad-abad dalam Gereja Katolik.
Pilihan Paus itu pun dinilai menjadi salah satu dari sederet langkah simbolis dalam transformasi institusi Gereja Katolik.
Dalam sejarahnya, sepatu kepausan berwarna merah dibuat khusus, bersol datar dan terbuat dari kulit atau kain merah untuk musim dingin serta sutra untuk musim panas.
Sepatu yang menjadi salah satu simbol jabatan tertinggi dalam Gereja Katolik itu diikat dengan tali sutra merah dan berumbai emas. Selain itu, ada salib yang disulam di permukaannya.
Sepatu itu misalnya masih digunakan oleh pendahulu Paus Fransiskus, yakni Paus Benediktus XVI. Paus bernama lengkap Joseph Ratzinger ini mencoba menunjukkan keberlanjutan tradisi Gereja Katolik dengan memulihkan unsur-unsur busana dan pakaian kepausan tradisional, termasuk pengenaan sepatu merah.
Namun, Paus Fransiskus yang terpilih menjadi pemimpin Takhta Suci di Vatikan sejak 13 Maret 2013 itu punya pilihan berbeda. Dia memilih untuk menggunakan sepatu hitam sederhana.
Bahkan, sepatu itu dibuat oleh Carlos Samaria, tukang sepatu langganan Paus Fransiskus di negara asalnya, Argentina. Selama beberapa dekade sebelumnya, pemilik toko sepatu di pinggiran Buenos Aires, Ibu Kota Argentina, itu membuat sepatu untuk Kardinal Bergoglio.
Jadilah Paus Fransiskus mengenakan sepatu sederhana, terbuat dari kulit hitam, berujung halus dan tanpa hiasan.
Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo mengatakan dalam sejarah kepausan, pemimpin tertinggi Gereja Katolik memakai sepatu berwarna merah. Namun, Paus Fransiskus menggunakan warna berbeda dan juga sepatu lama.
“Beliau selalu memakai sepatu berwarna hitam dan ada garis-garisnya. Itu artinya sudah dipakai lama,” jelas Kardinal Suharyo jelang kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia pada awal September 2024.
Tak hanya soal sepatu, Paus pertama asal Benua Amerika ini pun membuat pilihan berbeda lainnya saat pertama kali keluar dari Vatikan usai menjadi Paus.
Kala itu, dia mengunjungi Pulau Lampedusa, di selatan Italia, yang menjadi pintu masuk bagi imigran dari Afrika untuk mencari hidup baru di Eropa. Di situ, Paus memimpin misa atau perayaan ekaristi dengan altar perahu rusak.
“Bukan dihias bunga, [altarnya menggunakan] perahu rusak yang dipakai imigran untuk menuju tanah harapan baru. Sangat simbolik,” jelas Kardinal Suharyo.
Menurut Kardinal, pilihan itu menunjukkan transformasi pribadi Paus Fransiskus, yang pada akhirnya berujung pada transformasi institusi yang sedang berlangsung di Gereja Katolik.
Kardinal Suharyo memberikan contoh lain yakni saat ini Paus Fransiskus tidak tinggal di Istana Kepausan, tetapi tinggal bersama dengan para fungsionaris Vatikan.
“Ini juga sangat simbolik. Para wartawan membacanya sebagai simbol pergeseran dari pola kepemimpinan monarkis raja menuju kepemimpinan yang servant leadership, kepemimpinan yang melayani,” jelasnya.
Transformasi Pribadi Jadi Transformasi Gereja Katolik
Bergoglio lahir di Buenos Aires pada 17 Desember 1936. Ayahnya Mario merupakan imigran asal Italia dan berprofesi sebagai akuntan di perusahaan kereta api, sedangkan ibunya, Regina Sivori adalah ibu rumah tangga yang membesarkan lima anak.
Pada 21 September 1953, Bergoglio muda yang berusia 17 tahun bergegas menuju lokasi pesta perayaan hari raya pelajar. Di tengah perjalanan itu, dia melewati Gereja Katolik dan melihat seorang pastor, serta kemudian memutuskan untuk menerima sakramen tobat (pengakuan dosa).
Menurut Kardinal Suharyo, peristiwa itu menandai awal penting dalam perjalanan hidup dan iman Bergoglio. Pasalnya, pengalaman batin itu memberikan pemahaman kepada Bergoglio mengenai ‘Allah yang Maharahim’.
“Bisa dibaca dalam riwayat hidup beliau, pengalaman akan Allah yang menancap di dalam batinnya yaitu Allah yang Maharahim. Ketika ditanya wartawan, [setelah menjadi Paus] dia menjawab bahwa Allah itu bernama kerahiman. Mercy is the Name of God,” jelasnya.
Pengalaman inilah yang kemudian menjadi awal dari pilihan-pilihan hidup Bergoglio dalam mentransformasikan diri dan institusi.
Pilihan Bergoglio itu misalnya tampak dalam kesahajaannya saat menjabat sebagai Uskup Agung Buenos Aires.
“Umat saya miskin, dan saya salah satu di antaranya,” demikian penjelasan Bergoglio saat ditanya wartawan terkait alasan dirinya tinggal di sebuah flat dan menyiapkan makan malamnya sendiri.
Padahal, kala itu Bergoglio menjabat sebagai Uskup Agung Buenos Aires, sebuah posisi strategis dalam Gereja Katolik. Namun, sejak ditahbiskan sebagai Uskup Agung pada 28 Februari 1998, dia tetap menjalani hidup sederhana seperti sebelumnya.
Dalam pelayanan sehari-hari, Bergoglio sering kali bepergian jauh tanpa kendaraan pribadi. Dia lebih memilih transportasi umum baik metro atau kereta maupun bus.
Sikapnya tidak berubah setelah dia diangkat oleh Paus Johanes Paulus II menjadi Kardinal, tiga tahun kemudian atau pada 21 Februari 2001. Paus mengangkat Bergoglio menjadi Kardinal dengan gelar San Roberto Bellarmino.
Saat itu, dia berangkat ke Roma tanpa membawa atau membeli jubah baru. Bergoglio memilih untuk menggunakan jubah pendahulunya, Antonio Quarracino, yang meninggal pada tahun 1998.
Selain itu, Bergoglio dengan tegas meminta umat Katolik di Argentina tidak datang ke Roma untuk merayakan pengangkatannya sebagai Kardinal. Sebaliknya, dia meminta umat untuk menyumbangkan dana perjalanan dan akomodasi perjalanan itu bagi orang miskin.
Tak mengherankan, selama menjabat sebagai Uskup Agung Buenos Aires, Jorge Mario Bergoglio menjadi tokoh terkemuka di Amerika Latin.
Meneladani Transformasi Paus Fransiskus
Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo mengatakan semua umat beriman bisa belajar dari teladan Paus Fransiskus.
Menurutnya, laku hidup dan batin yang dicontohkan pemimpin tertinggi Gereja Katolik itu tidak hanya bisa diteladani umat agama tertentu. Pesan yang disampaikan Paus Fransiskus, baik melalui perkataan, sikap hidup dan dokumen yang ditulisnya, bisa diteladani seluruh umat beriman.
“Saya sengaja tidak memakai kata agama, tapi beriman. Agama itu bisa dimanipulasi, dipakai untuk alat politik, tetapi iman tidak. Iman yang otentik tandanya adalah transformasi,” jelasnya.
Uskup Agung Jakarta percaya, jika proses transformasi pribadi pada umat beragama berbuah pada transformasi institusi negara, maka Indonesia akan mampu mewujudkan cita-citanya yang tertuang dalam preambul Undang-Undang Dasar 1945.
Menurutnya, kehadiran Paus Fransiskus bisa menjadi tanda pengharapan bagi masyarakat Indonesia bahwa transformasi diri dan institusi itu bisa terwujud.
“Cita-cita kita tidak sekadar menunggu. Berharap artinya berjuang. Paus Fransiskus adalah salah satu [tanda pengharapan], tetapi kita tidak usah menunggu sampai sama seperti Paus Fransiskus,” jelasnya.
Salah satu tanda pengharapan itu pun telah berpulang. Vatikan secara resmi mengumumkan wafatnya Paus Fransiskus, Senin (21/4/2025), pada usia 88 tahun di kediamannya, Casa Santa Marta.
Namun, kesederhanaan yang merupakan cerminan transformasi diri dan kemudian mewujud pada transformasi institusi itu pun tetap menjadi pesan dan tanda pengharapan, termasuk bagi masyarakat Indonesia.