Bisnis.com, JAKARTA -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump membuat geger dunia. Dia sekonyong-konyong menerapkan tarif timbal balik atau reciprocal tariff ke sejumlah negara, tak terkecuali Indonesia. Kebijakan sepihak Trump, diramal akan mengguncang konsesus global. Skenario terburuk resesi hingga krisis global berada di depan mata.
Trump adalah wajah politik 'konservatif' AS, sebuah negara yang sejatinya dikenal sebagai penganut kapitalisme dan liberalisme. AS, misalnya, telah lama mempromosikan pasar bebas hingga mendorong investasi di berbagai belahan dunia.
Lewat pasar bebas, AS menjadi penguasa dunia. Jaringan bisnisnya dimana-mana. Pada tahun ini mengutip dari data Dana Moneter Internasional atau IMF, produk domestik bruto (PDB) nominal mencapai US$30,3 triliun triliun. Angka ini masih menempatkan AS sebagai kekuatan ekonomi terbesar di dunia.
Namun demikian, dengan berkembangnya Asia, terutama China, tirai kebebasan itu perlahan mulai ditutup. China tampil sebagai 'penantang' AS dalam hal apapun termasuk ekonomi, militer dan teknologi. Saat ini PDB nominal China mencapai US$19,53 triliun. Banyak lembaga meramal China akan segera menggeser AS sebagai kekuatan ekonomi terbesar di dunia.
Upaya AS, khususnya Trump, untuk menghentikan laju China sejatinya telah tampak saat pecah perang dagang pada tahun 2018-2020 lalu. Sayangnya, pada waktu itu, hasilnya tidak terlalu signifikan meski angkanya mulai menyusut.
Neraca perdagangan AS terhadap China tetap defisit. Pada tahun 2018 lalu, misalnya, nilai defisit perdagangan AS terhadap China mencapai US$418 miliar, pada tahun 2019 US$342 miliar, dan pada tahun 2020 atau saat awal pandemi tetap defisit di angka US$307 miliar.
Perang dagang jilid I mulai mereda ketika Joe Biden menang Pilpres AS 2020. Dia mengalahkan Trump. Hubungan perdagangan antara AS dan China yang merupakan kekuatan global yang sedang naik daun, perlahan mulai akur kembali, kendati dalam beberapa isu khususnya Laut China Selatan, kedua negara seringkali berseteru dan unjuk kekuatan. Namun selama Biden memimpin, nyaris tidak ada guncangan besar antara kedua negara tersebut.
Namun angin politik berubah drastis pada tahun 2024 lalu. Biden batal maju sebagai calon presiden AS. Dia diganti wakilnya, Kamala Harris. Pilpres AS kemudian digelar. Hasilnya, Harris kalah. Trump keluar sebagai pemenang. Kemenangan Trump disambut was-was oleh semua negara. Apalagi gaya kepemimpin Trump yang populis dan sangat proteksionis. Jangankan negara yang dicap sebagai musuh AS, sekutu-sekutunya, termasuk Uni Eropa dan Israel, juga kena batunya.
Tensi politik segera tegang begitu Trump dilantik sebagai presiden AS. Dia menyatakan keluar dari WHO dan Paris Agreement. Ketegangan semakin memuncak pada pekan lalu, Trump tanpa pandang bulu mengeluarkan kebijakan tarif timbal balik alias reciprocal tariff. Trump merasa banyak negara yang memanfaatkan AS. Pemberlakuan tarif balasan itu, dia klaim sebagai upaya untuk menuntut keadilan.
"Ini adalah deklarasi kemerdekaan kita," ujar Trump di Gedung Putih, Rabu (2/4/2025) waktu setempat.
Berakhirnya Globalisasi?
Perdana Menteri (PM) Singapura Lawrence Wong adalah salah satu pemimpin negara yang cukup awal merespons kebijakan tarif Trump. Dia berbicara lugas alias to the point bahwa kebijakan tarif Donald Trump menandai berakhirnya era globalisasi berbasis aturan dan dapat menjadi awal dari krisis ekonomi global.
PM Wong menekankan bahwa dunia sedang memasuki fase yang jauh lebih proteksionis, arbitrer, dan berbahaya bagi negara kecil dengan ekonomi terbuka seperti Singapura yang sangat rentan terdampak.
Menurutnya, kebijakan tarif timbal balik atau tarif resiprokal AS, yang diumumkan dalam pernyataan bertajuk “Liberation Day” oleh Trump, menandai perubahan besar dalam lanskap perdagangan internasional. Dalam kerangka kebijakan ini, Singapura dikenai tarif sebesar 10%.
Dia menilai bahwa meskipun tarif ini tidak setinggi yang dikenakan kepada negara lain seperti Indonesia yang mencapai 32%, PM Wong menekankan bahwa konsekuensi jangka panjang jauh lebih luas dan mengkhawatirkan.
“Era globalisasi berbasis peraturan dan perdagangan bebas sudah berakhir. AS tidak lagi sekadar melakukan reformasi terhadap sistem multilateral seperti WTO, tetapi justru meninggalkannya sepenuhnya,” ujarnya dalam tayangan video itu, Jumat (4/4/2025).
Dia menuturkan bahwa, langkah AS yang memilih untuk melakukan pembalasan tarif terhadap negara demi negara merupakan penolakan langsung terhadap kerangka WTO yang selama ini menjadi dasar stabilitas perdagangan global.
Wong menegaskan bahwa meskipun dampak langsung terhadap Singapura mungkin masih terbatas, kerusakan sistemik terhadap tatanan ekonomi global bisa sangat besar.
Dia menilai bahwa jika negara-negara lain mengikuti langkah AS dan meninggalkan sistem multilateral demi kepentingan bilateral semata, negara kecil seperti Singapura berisiko terpinggirkan, dimarginalisasi, dan ditinggalkan dari pusat perdagangan internasional.
“Kami tidak akan memimpin tindakan balasan seperti tarif retaliasi. Namun, negara-negara lain mungkin tidak akan bersikap sama. Risiko perang dagang global yang menyeluruh kini semakin nyata,” katanya.
Dalam refleksi historis yang mengkhawatirkan, PM Wong membandingkan situasi saat ini dengan era 1930-an, ketika proteksionisme global berkembang dan akhirnya memicu Perang Dunia Kedua.
“Tak ada yang bisa memastikan bagaimana situasi ini akan berkembang dalam beberapa bulan atau tahun ke depan. Namun kita harus bersikap jelas dan waspada terhadap bahaya yang sedang tumbuh di dunia,” ucapnya.
Uni Eropa Siapkan Balasan
Sementara itu, negara-negara Uni Eropa dikabarkan akan bersatu dengan membuat front persatuan dalam beberapa hari mendatang untuk melawan tarif impor yang ditetapkan Presiden AS Donald Trump.
Uni Eropa kemungkinan akan menyetujui serangkaian tindakan balasan yang ditargetkan untuk impor AS senilai $28 miliar, mulai dari benang gigi (dental floss) hingga berlian.
Jika hal tersebut terjadi maka Uni Eropa akan bergabung dengan China dan Kanada dalam memberlakukan tarif pembalasan terhadap AS dalam eskalasi awal yang dikhawatirkan beberapa pihak akan menjadi perang dagang global, membuat barang-barang menjadi lebih mahal bagi miliaran konsumen dan mendorong ekonomi di seluruh dunia ke dalam resesi.
Blok yang terdiri dari 27 negara itu menghadapi tarif impor 25% untuk baja dan aluminium serta mobil dan tarif “timbal balik” sebesar 20% yang berlaku mulai Rabu (9/4/2025) untuk hampir semua barang buatan Uni Eropa.
Tarif Trump mencakup sekitar 70% ekspor Uni Eropa ke AS, senilai total 532 miliar euro (US$585 miliar) tahun lalu, dengan kemungkinan bea masuk untuk tembaga, obat-obatan, semikonduktor, dan kayu yang akan diberlakukan.
Komisi Eropa, yang melakukan koordinasi kebijakan perdagangan Uni Eropa, akan mengusulkan kepada para anggotanya daftar produk AS yang akan dikenakan bea masuk tambahan sebagai tanggapan atas tarif baja dan aluminium Trump, dan bukan pungutan resiprokal yang lebih luas.
Daftar yang disiapkan tersebut akan mencakup daging, sereal, anggur, kayu, dan pakaian AS serta permen karet, dental floss, penyedot debu, dan tisu toilet.
Salah satu produk yang mendapat perhatian lebih dan menimbulkan perselisihan di blok tersebut adalah minuman beralkohol jenis Bourbon. Komisi telah menetapkan tarif 50%, yang mendorong Trump untuk mengancam tarif balasan 200% terhadap minuman beralkohol Uni Eropa jika blok tersebut tetap melanjutkannya.
Adapun, eksportir wine Prancis dan Italia telah menyatakan keprihatinannya. Uni Eropa, yang ekonominya sangat bergantung pada perdagangan bebas, ingin memastikan bahwa mereka mendapat dukungan luas untuk setiap tanggapan untuk menjaga tekanan pada Trump pada akhirnya untuk memasuki negosiasi.
Luksemburg akan menjadi tuan rumah pertemuan politik Uni Eropa yang digelar untuk pertama kalinya sejak pengumuman tarif Trump, di mana para menteri yang bertanggung jawab atas perdagangan dari 27 anggota Uni Eropa akan bertukar pandangan mengenai dampak dan cara terbaik untuk menanggapinya.
Diplomat Uni Eropa mengatakan bahwa tujuan utama dari pertemuan ini adalah untuk menghasilkan pesan persatuan tentang keinginan untuk bernegosiasi dengan Washington untuk menghapus tarif, tetapi juga kesiapan untuk merespons dengan tindakan balasan jika hal itu gagal.
“Ketakutan terbesar kami setelah Brexit adalah kesepakatan bilateral dan pecahnya persatuan, tetapi setelah tiga atau empat tahun negosiasi, hal itu tidak terjadi. Tentu saja, di sini Anda memiliki cerita yang berbeda, tetapi semua orang dapat melihat adanya ketertarikan pada kebijakan komersial yang sama,” ujar seorang diplomat Uni Eropa dilansir dari Reuters, Senin (7/4/2025).