Bisnis.com, JAKARTA - Komisi III DPR akan segera memulai pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Revisi ini merupakan pertama kali yang dilakukan setelah 44 tahun.
Untuk diketahui, KUHAP adalah dasar bagi aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan untuk melaksanakan wewenangnya. Revisi KUHAP ini juga sejalan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP baru yang akan mulai berlaku pada 2026 atau tahun depan.
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengatakan bahwa KUHAP saat ini sudah berlaku sejak 1981. Dia mengatakan revisi yang akan dilakukan oleh DPR tidak akan mengubah kewenangan aparat penegak hukum atau APH.
"Ya, intinya nih, KUHAP baru tidak mengubah kewenangan aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana," ujar Habiburokhman di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (20/3/2025).
Dengan demikian, Polri tetap menjadi penyidik utama, sedangkan Kejaksaan Agung merupakan penuntut tunggal.
Adapun perbaikan pada KUHAP baru yang akan dibahas parlemen bakal menyesuaikan KUHP baru. KUHAP baru disebut bakal menyesuaikan nilai-nilai restoratif, restitutif dan rehabilitatif yang ada pada KUHP baru. Terdapat sejumlah garis besar perbaikan yang akan tertuang pada revisi KUHAP tersebut.
Baca Juga
Pertama, pencegahan kekerasan dalam proses penyidikan. Habiburokhman menyebut pembuat UU bakal menyiasati agar praktik kekerasan dalam proses penyidikan berkurang semaksimal mungkin.
Caranya, yakni dengan mengoptimalkan pengawasan melalui CCTV dalam setiap pemeriksaan dan di setiap ruangan di mana ada penahanan. Dia menyebut aturan itu akan tertuang dalam pasal 31 KUHAP.
"Jadi, di ruang tahanan itu harus ada CCTV dan dalam setiap pemeriksaan harus ada perekaman," tuturnya.
Kedua, penguatan peran advokat. KUHAP baru akan memberikan wewenang baru kepada para advokat untuk tidak hanya mencatat dan mendengarkan pemeriksaan klien mereka, namun juga bisa menyampaikan keberatan. Apalagi, jika terjadi intimidasi oleh penyidik.
Tidak hanya itu, advokat juga akan diberikan wewenang untuk mendampingi saksi dan korban. Habiburokhman menyinggung banyaknya kejadian selama ini di mana advokat tidak bisa mendampingi peserta demo yang ditangkap Kepolisian, karena pihak yang ditangkap belum berstatus tersangka.
"Kalau sekarang, saksi pun harus didampingi advokat, gitu ya," ujarnya.
Ketiga, memaksimalkan keadilan restoratif atau restorative justice mulai dari penyidikan, penuntutan hingga persidangan. Dia menyebut KUHAP baru bahkan bakal memuat bab khusus mengenai hal tersebut.
Habiburokhman menyebut keadilan restoratif pada KUHAP baru itu akan berorientasi pada pemulihan kerugian korban, bukan semata-mata menghukum pelaku. Oleh sebab itu, suatu kasus pidana bisa dihentikan atau pelaku tindak pidana bisa dimaafkan dalam sejumlah kasus tertentu.
"Kalau menurut aturan yang lama, memang harus diselesaikan sampai sidang, enggak mengenal perdamaian pidana, kan. Kalau sekarang bisa diselesaikan dengan restorative justice, bisa dimaafkan. Jadi, diputus oleh pengadilan, tapi putusannya adalah perbuatan yang terbukti, tetapi dimaafkan dan tidak dikenai hukuman. Itu di KUHAP baru yang kita coba maksimalkan," terang Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Keempat, perlindungan terhadap hak-hak kelompok rentan seperti perempuan, difabel serta lanjut usia (lansia) yang terseret dalam proses hukum.
Kelima, syarat penahanan. Pada aspek ini, DPR menyoroti soal subjektivitas penyidik dalam melakukan penahanan. Yaitu kekhawatiran apabila tersangka melarikan diri, menghilangkan alat bukti serta mengulangi tindak pidana.
Menurut Habiburokhman, KUHAP baru akan menambah syarat penahanan oleh penyidik. Salah satunya yakni memastikan bahwa tersangka ada upaya melarikan diri.
"Berarti sudah harus ada perbuatan permulaan untuk melarikan diri, menghilangkan alat bukti, atau mengulangi tindak pidana. Tambah banyak lagi syaratnya. Jadi enggak gampang sewenang-wenang orang ditahan sebelum proses persidangan," pungkasnya.