Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah AS Kenakan Sanksi Jumbo ke Perusahaan Migas Rusia

Langkah tersebut dimaksudkan untuk memangkas pendapatan Rusia karena melanjutkan perang di Ukraina.
Bendera Rusia di sebuah kapal yang berada di St Petersburg, Rusia. / Bloomberg-Andrey Rudakov
Bendera Rusia di sebuah kapal yang berada di St Petersburg, Rusia. / Bloomberg-Andrey Rudakov

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintahan Presiden AS Joe Biden mengenakan paket sanksi terbesarnya sejauh ini, yang menargetkan pendapatan minyak dan gas Rusia. Hal tersebut seiring dengan upaya AS untuk memberi pengaruh kepada Kyiv dan tim Donald Trump yang baru untuk mencapai kesepakatan perdamaian di Ukraina.

Langkah tersebut dimaksudkan untuk memangkas pendapatan Rusia karena melanjutkan perang di Ukraina yang telah menewaskan lebih dari 12.300 warga sipil dan menghancurkan kota-kota sejak invasi Moskow pada bulan Februari 2022.

Mengutip Reuters pada Minggu (12/1/2025), Kementerian Keuangan AS menjatuhkan sanksi kepada Gazprom Neft dan Surgutneftegas, yang mengeksplorasi, memproduksi, dan menjual minyak, serta 183 kapal yang telah mengirimkan minyak Rusia. Sanksi tersebut juga mencakup jaringan yang memperdagangkan minyak bumi.

Banyak dari kapal tanker tersebut telah digunakan untuk mengirimkan minyak ke India dan China karena pembatasan harga yang diberlakukan oleh negara-negara G7 pada 2022 telah mengalihkan perdagangan minyak Rusia dari Eropa ke Asia. Beberapa kapal tanker diketahui mengirimkan minyak Rusia dan Iran.

Kementerian Keuangan AS juga membatalkan ketentuan yang membebaskan perantara pembayaran energi dari sanksi terhadap bank-bank Rusia. Sanksi tersebut akan merugikan Rusia miliaran dolar per bulan jika ditegakkan secara memadai, kata pejabat AS lainnya kepada wartawan melalui panggilan telepon. 

"Tidak ada satu langkah pun dalam rantai produksi dan distribusi yang tidak tersentuh dan hal itu memberi kami keyakinan yang lebih besar bahwa penghindaran akan lebih merugikan Rusia," kata pejabat tersebut.

Gazprom Neft mengatakan sanksi itu tidak dapat dibenarkan dan tidak sah. Mereka juga menyebut, perusahaan akan terus beroperasi.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy mengatakan dalam sebuah posting di X bahwa tindakan yang diumumkan pada hari Jumat akan memberikan pukulan telak bagi Moskow. "Semakin sedikit pendapatan yang diperoleh Rusia dari minyak, semakin cepat perdamaian akan dipulihkan," imbuh Zelenskiy.

Daleep Singh, penasihat ekonomi dan keamanan nasional Gedung Putih, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa tindakan tersebut adalah sanksi paling signifikan sejauh ini terhadap sektor energi Rusia, yang sejauh ini merupakan sumber pendapatan terbesar bagi Presiden Vladimir Putin.

Adapun, langkah-langkah sanksi tersebut memberikan periode penghentian hingga 12 Maret bagi entitas yang terkena sanksi untuk menyelesaikan transaksi energi.

Namun, sumber-sumber dalam perdagangan minyak Rusia dan penyulingan minyak India mengatakan sanksi tersebut akan menyebabkan gangguan parah pada ekspor minyak Rusia ke pembeli utamanya, India dan China.

Geoffrey Pyatt, asisten sekretaris AS untuk sumber daya energi di Kementerian Luar Negeri, mengatakan ada volume minyak baru yang diharapkan akan mulai beroperasi tahun ini dari AS, Guyana, Kanada, dan Brasil dan mungkin dari Timur Tengah akan menggantikan pasokan Rusia yang hilang.

"Kami melihat diri kami tidak lagi dibatasi oleh pasokan yang ketat di pasar global seperti saat mekanisme pembatasan harga diluncurkan," kata Pyatt. 

Sanksi tersebut merupakan bagian dari upaya yang lebih luas karena pemerintahan Biden telah memberi Ukraina bantuan militer senilai US$64 miliar sejak invasi, termasuk US$500 juta minggu ini untuk rudal pertahanan udara dan peralatan pendukung untuk jet tempur. 

Langkah terbaru ini dilakukan tersebut menyusul sanksi AS pada November 2024 lalu terhadap sejumlah bank termasuk Gazprombank, saluran terbesar Rusia untuk bisnis energi global, dan awal tahun lalu terhadap puluhan kapal tanker yang membawa minyak Rusia.

Pemerintahan Biden meyakini sanksi pada bulan November turut mendorong rubel Rusia ke level terlemahnya sejak awal invasi dan mendorong bank sentral Rusia untuk menaikkan suku bunga acuannya ke level rekor lebih dari 20%.

"Kami perkirakan penargetan langsung kami terhadap sektor energi akan memperburuk tekanan terhadap ekonomi Rusia yang telah mendorong inflasi hingga hampir 10% dan memperkuat prospek ekonomi yang suram untuk tahun 2025 dan seterusnya," kata salah satu pejabat.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Sumber : Reuters
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper