Demo Revisi UU Pilkada
Sebelumnya, Bloomberg juga memberitakan aksi demonstrasi di Jakarta untuk menolak revisi UU Pilkada. Media ini menyebut demonstran hanya membutuhkan waktu kurang dari 24 jam untuk mengakhiri perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh elit negara. Hal tersebut menunjukkan besarnya kemarahan terhadap politik dinasti yang diupayakan Jokowi dan kemunduran demokrasi di negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara.
Pada Rabu (21/8/2024) malam lalu, setelah anggota parlemen yang bersekutu dengan Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo Subianto mencoba melemahkan keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai pemilu daerah mendatang, mahasiswa, serikat pekerja, dan partai oposisi bertindak cepat.
Puluhan ribu pengunjuk rasa dengan cepat turun ke jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya pada Kamis pagi, mengelilingi gedung parlemen, bentrok dengan polisi dan melontarkan pelecehan terhadap politisi. Jutaan orang turun ke media sosial menyerukan pembelaan demokrasi. Hal tersebut berimbas pada pelemahan pasar saham dan nilai tukar rupiah.
Setelah jam 5 sore di Jakarta, anggota parlemen membatalkan usulan perubahan tersebut – untuk saat ini. Para pengunjuk rasa telah menunjukkan bahwa bahkan Jokowi yang populer pun menghadapi kendala dalam upayanya untuk mempertahankan pengaruh politik, dan mengirimkan pesan kepada calon pemimpin baru, Prabowo, yang merupakan mantan jenderal, bahwa masyarakat Indonesia ingin mempertahankan demokrasi yang relatif adil dan bebas.
“Ini adalah kemenangan bagi demokrasi. Hal ini mungkin tidak akan bertahan lama jika elit politik mencoba melemahkan putusan hukum lainnya. Ini menjadi preseden penting dan kita harus menjaganya sampai akhir," kata Bivitri Susanti, pakar hukum dan pengamat politik dari Fakultas Hukum Indonesia Jentera.
Baca Juga
Adapun, perjuangan para pengunjuk rasa terbantu oleh reaksi di pasar, di mana harga saham anjlok dan rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia. Keduanya telah bangkit kembali sejak mundurnya elit penguasa.
Selain itu, pasar juga menghela napas lega bahwa kekerasan yang lebih buruk dapat dihindari di tengah kritik terhadap cara polisi menangani protes tersebut.
Demonstrasi dibubarkan dengan menggunakan gas air mata, pemukulan, dan keterlibatan tentara yang mengindikasikan penggunaan kekerasan yang berlebihan, kata Komnas HAM. Sementara itu, Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia menyerukan pemerintah untuk meninggalkan perilaku kekerasan yang tidak perlu dan mengadili aparat keamanan yang bersalah atas pelanggaran.
Mantan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla awal pekan lalu memperingatkan bahwa pemerintah berisiko menimbulkan kerusuhan seperti kerusuhan di Bangladesh bulan lalu yang mendorong perdana menteri untuk melarikan diri.
Sementara itu, Reuters menyoroti keputusan DPR yang membatalkan rencana perubahan undang-undang pemilu setelah pengunjuk rasa di Jakarta melakukan pembakaran dan menghadapi gas air mata dan meriam air karena undang-undang yang mereka anggap akan melemahkan penentang presiden yang akan keluar dan penggantinya.
DPR, yang didominasi oleh pendukung Presiden Joko Widodo dan penggantinya, Prabowo Subianto, dijadwalkan untuk melakukan pemungutan suara untuk membatalkan perubahan undang-undang pemilu yang dibuat oleh mahkamah konstitusi, sebuah keputusan yang secara efektif membuka kembali peluang bagi kritikus pemerintah yang vokal untuk mencalonkan diri di tingkat daerah.
Partai-partai yang mendukung Prabowo pada awal pekan lalu mendukung satu calon gubernur Jakarta yang berpengaruh, sehingga mematikan peluang saingan presiden terpilih, Anies Baswedan, untuk mencalonkan diri.
Anies saat itu membutuhkan dukungan dari partai atau koalisi partai yang memiliki setidaknya 20% kursi di DPRD, berdasarkan aturan pemilu daerah yang berlaku sejak 2016.
Namun, keputusan Mahkamah Konstitusi telah menurunkan ambang batas menjadi di bawah 10%. Hal tersebut sempat memberi peluang bagi Anies untuk dicalonkan oleh satu-satunya partai yang belum menetapkan calon kala itu, PDIP.
Adapun, DPR telah berusaha untuk membatalkan putusan MK tersebut dengan mengembalikan ambang batas ke level sebelumnya. Hal ini dinilai sebagai sebuah langkah yang menurut para kritikus akan menguntungkan Jokowi dan keluarganya, serta pemerintahan yang akan datang, karena mereka mengkonsolidasikan kekuasaan dan membekukan pergerakan oposisi.