Bisnis.com, JAKARTA — Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti memandang saat ini masyarakat Indonesia terlihat permisif atau dengan kata lain menerima atau mengizinkan adanya dinasti politik.
Dia mengungkapkan ada tiga hal yang mendasarinya berpandangan demikian. Pertama, berkaitan dengan cara pandang soal hukum yang didapat dari pendidikan di Indonesia.
Adapun, hal tersebut disampaikannya saat menjadi pembicara dalam acara pemaparan hasil riset “Perilaku Politik Nagara Institute: Toleransi pemilih terhadap Politik Dinasti pada Pemilu & Pilkada 2024”, di Tebet, Jakarta Selatan, pada Kamis (19/12/2024).
“Saya sendiri sebagai pendidik di bidang hukum, seringkali ingin memberontak dari pandangan yang sangat legalistik, positifistik. Kita semua paham pendidikan keluarga negara kita hanya menekankan warga negara yang baik adalah warga negara yang taat hukum,” tuturnya.
Menurutnya, negara hukum adalah soal supremasi hukum, tetapi dirinya menyayangkan bahwa tidak adanya ruang soal apakah hukumnya bermoral atau tidak.
“Pokoknya taat, taat, taat, begitu terus. Taklit buta, begitu ya. Nah, itu yang mempengaruhi bagaimana makin lama orang makin permisif soal politik dinasti,” ungkap Bivitri.
Baca Juga
Bivitri melanjutkan, poin kedua, berkaitan dengan adanya pengaruh dari gagasan yang dilayangkan oleh para buzzer. Dia mengemukakan sudah menjadi rahasia umum bahwa semua kandidat Pilkada ataupun Pilpres dan pileg menyewa pasukan siber.
“Dan jangan dikecilkan soal bagaimana pengaruh media sosial pada persepsi publik tentang politik. Jadi nggak boleh dikecilkan faktor itu. Bagaimana akhirnya buzzer itu mempengaruhi persepsi publik, makin permisifnya masyarakat Indonesia tentang dinasti politik,” ujarnya.
Terakhir, dia beranggapan bahwa masyarakat masih belum sepenuhnya memiliki sense of freedom dalam memilih, terutama di desa. Menurutnya, masalah di desa bukanlah berkaitan soal akses ke gadget, tetapi soal sense of freedom-nya.
Menilik pada refleksinya, Bivitri mencontohkan di Jakarta ternyata paslon yang di-endorse oleh ‘penguasa’ nyatanya gagal untuk menang. Dia menyimpulkan hal ini merupakan anomali, lantaran jika dibandingkan dengan paslon lain seperti di Jawa Tengah dan Sumatera Utara yang juga di-endorse‘penguasa’ bisa menang.
“Di Jakarta gagal, perlu riset lebih jauh, tapi saya melihat bahwa barangkali karena ada sense of freedom di masyarakat Jakarta. Bukan sekadar sense of freedom secara umum ya, karena kan beragam faktornya,” terang dia.
Survei Nagara Institute soal sikap pemilih terhadap dinasti politik
Pada 10 November 2024, Nagara Institute melakukan survei melalui telepon dengan sampel dari setiap provinsi secara proporsional. Adapun, sebanyak 1.200 responden diambil dengan kriteria berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah dan memiliki ponsel.
Survei dengan margin of error 2,9% ini menunjukkan bahwa sebesar 44,17% responden akan memilih calon legislatif/kepala daerah yang memiliki hubungan kekerabatan dengan anggota legislatif/kepala daerah yang sedang menjabat, asalkan kandidatnya tersebut layak.
Sementara itu, 36,25% akan memilih jika kerabat yang sedang menjabat berkinerja baik, tidak akan memilih 10,08%, menolak keras dan menyarankan ornag lain untuk tidak memilih sebesar 4,83%, dan tidak tahu/tidak jawab 4,67%.