Bisnis.com, JAKARTA -- DPR menyoroti hubungan antara pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Dewan Pengawas KPK. Relasi tidak harmonis antara kedua kubu dinilai mencoreng nama baik sekaligus menyandera proses pemberantasan korupsi dalam konflik internal.
Kasus Ghufron vs Dewas KPK adalah salah satu contoh ketidakharmonisan di internal KPK yang terungkap ke publik. Kasus itu terjadi ketika Dewas sedang memproses perkara dugaan pelanggaran etik pimpinan KPK, Nurul Ghufron.
Ghufron dianggap telah melanggar etik karena diduga menggunakan jabatannya untuk meminta bantuan pejabat di Kementerian Pertanian memutasi salah satu kerabatnya. Alih-alih melakukan penegakan etik, langkah Dewas KPK berujung gugatan hukum hingga pelaporan anggota Dewas Albertina Ho ke Bareskrim Polri.
Ketidakharmonisan antara Dewas KPK dengan pimpinan KPK juga tersirat saat rapat kerja di Komisi III DPR kemarin. Saat itu, pimpinan KPK mendorong revisi Undang-undang (UU) No.19/2019 tentang KPK, khususnya poin terkait dengan peranan Dewan Pengawas (Dewas).
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengungkap perlunya penegasan dan penajaman dalam UU KPK. Dia merujuk pada tupoksi Dewas KPK yang tidak sesuai antara UU dan praktiknya di lapangan.
Alex, sapaannya, menyinggung peran Dewas yang tumpang tindih dengan peran Inspektorat. Dia bahkan mengungkap Dewas bisa memerintahkan pejabat struktural KPK dengan hanya memberikan pemberitahuan ke pimpinan.
Baca Juga
"Kadang saya berseloroh, KPK periode ini dipimpin oleh 10 orang. Lima pimpinan dan lima dewas, karena dewas bisa meminta pada pejabat-pejabat di KPK itu tanpa atau hanya sekadar memberitahukan pemberitahuan ke pimpinan," ungkap Alex kepada anggota Komisi III DPR.
Pimpinan KPK dua periode itu menyebut tidak bisa melarang dewas dalam melakukan hal tersebut. Dia juga tidak membatasi. Alex lalu menyebut dewas bisa sampai turun ke lapangan secara aktif, salah satunya untuk menindaklanjuti temuan dugaan pelanggaran kode etik. Terkait dengan hal itu, dia menyinggung pernah lima kali dilaporkan ke Dewas KPK.
Kasus terbaru, dia dilaporkan ke Dewas KPK ihwal dugaan pelanggaran kode etik berupa komunikasi dengan pihak berperkara yakni mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL). "Terakhir saya sampai disidang, saya diduga minta pupuk ke menteri SYL untuk kampung saya. Saya sih enggak masalah, pak," ujarnya.
Kewenangan Dewas KPK
Adapun eksistensi Dewas KPK tidak pernah lepas dari amandemen Undang-undang KPK pada 2019 lalu. Posisi Dewas diatur dalam pasal dalam Pasal 21 ayat (1) UU No.19/2019.
Sementara itu terkait kewenangannya diatur oleh Pasal 37A dan 36B yang semula memuat 6 poin penting peran Dewas KPK. Pertama, mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Kedua, memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
Ketiga, menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai KPK. Keempat, menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang.
Kelima, menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK. Keenam, melakukan evaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK secara berkala 1 kali dalam 1 tahun.
Namun demikian, karena keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XVII/2019 tanggal 4 Mei 2021, tugas Dewan Pengawas KPK untuk memberikan izin penyadapan dihapus sehingga hanya tersisa 5 kewenangan.
Curhatan Dewas
Di sisi lain, Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean mengaku kesulitan mengakses sejumlah dokumen penting karena aksesnya sudah ditutup oleh pemimpin KPK.
Pengakuan itu Tumpak sampaikan ketika rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat pada Rabu (5/6/2024).
"Dalam dua tahun terakhir ini akses kami untuk mendapatkan data-data itu juga sudah mulai sulit kami peroleh karena ada ketentuan di pimpinan KPK, pemberian dokumen atau data tertulis itu harus melalui persetujuan pimpinan KPK," ungkap Tumpak dalam rapat.
Sebelumnya, menurut Tumpak, selama ini Dewas selalu meminta sejumlah dokumen penting kepada deputi tanpa perlu persetujuan pimpinan KPK. Meski demikian, kini harus melalui persetujuan pimpinan KPK.
"Selama ini kami bisa minta saja kepada deputi, 'Tolong kami minta, sekjen tolong kami minta', dikasih. Tapi 2 tahun terakhir ini, itu sudah ditutup, harus melalui pimpinan KPK. Kami merasa itu suatu kendala," jelasnya.
Lebih lanjut, Tumpak mengungkapkan Dewas menerima 19 laporan pengaduan kode etik kepada pegawai dan pimpinan KPK hingga selama 2023-2024. Meski demikian, yang disidangkan hanya empat laporan karena memenuhi bukti yang cukup.
Hasilnya, Dewas menjatuhkan satu sanksi ringan, satu sanksi sedang, dan sembilan sanksi berat. Sanksi-sanksi tersebut diberikan kepada dua pimpinan KPK dan 97 pegawai.
Tumpak menyimpulkan, 97 pegawai yang kena sanksi etik masih cenderung rendah dibandingkan jumlah seluruh pegawai KPK sebanyak 1.801 orang. Sedangkan jumlah dua pimpinan KPK yang kena sanksi etik cukup besar karena seluruh pimpinan KPK hanya lima orang.