Bisnis.com, PARIS -- Hingga akhir perundingan di minggu pertama Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB (COP 21) di Paris, Prancis, kesepakatan untuk menekan kenaikan suhu bumi dua hingga dua derajat Celsius masih berjalan alot.
"Yang ingin dikejar dalam negosiasi kita ini yang penting adalah mencapai satu kesepakatan yang menggantikan Protokol Kyoto. Negosiasi berjalan alot, status terakhir, tujuan kita menahan peningkatan suhu hingga dua derajat celsius untuk itu kita butuh kesepakatan lebih intens negara maju dan berkembang," kata staf senior Bappenas yang menjadi negosiator di COP 21 Medrilzam di Paris, Sabtu (5/12/2015).
Negara maju, menurut da, tidak mau terbebani seperti yang terjadi pada Protokol Kyoto. Sehingga ke depan negara maju mengharapkan "differentiation", yang selama ini menjadi penyebab buntunya kesepakatan iklim, dapat diperkecil dan tanggung jawab dapat ditanggung semua.
"Dampaknya tentu ke masalah finansial dan transfer teknologi perubahan iklim, terutama yang selama ini diharapkan bisa mengalir dari negara maju ke negara berkembang," ujar dia.
Berdasarkan penyatuan "Intended Nationally Determined Contributions" (INDC) maka agregasi kemampuan menekan suhu bumi hanya mencapai 2,7-3,5 derajat Celsius. Beban 0,7 derajat Celsius lebih yang belum mampu diturunkan berdasarkan INDC 147 negara tidak mau dibebankan hanya untuk negara maju saja, hal ini yang membuat negosiasi berjalan alot.
Yang ingin dikejar dalam negosiasi untuk mencapai satu Kesepakatan Paris (Paris Agreement) untuk menggantikan Protokol Kyoto, menurut dia, setidaknya memuat beberapa elemen, yang diantaranya berupa mitigasi, adaptasi, finansial, transfer teknologi dan pembangunan kapasitas.
Medrilzam mengatakan kelima hal tersebut dibahas dalam lima forum yakni The Ad Hoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Action (ADP), Conference of Parties (COP), Subsidiary Body for Implementation (SBI), Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Kyoto Protocol (CMP), dan Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA).
Sebelumnya, Deputi Menteri Koordinator Bidang Kedaulatan Maritim Arif Havas Oegroseno mengatakan, jika ingin melihat apakah COP 21 sukses yakni pertama apakah target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang mengikat, selain mekanisme pendanaan dan review yang jelas.
"Target penurunan 'legally binding' atau tidak itu bisa dijadikan patokan sukses tidaknya COP 21. Persoalannya apakah Indonesia akan bilang ya tanpa kesepatan mengikat untuk tharget penurunan?," ujar dia.
Jika yang mengikat itu proses penurunan emisinya, maka menurut dia, harus jelas mekanismenya seperti apa dan berapa tahun akan dilakukan review. Transparansi dan sanksi kemudian menjadi penting.
"Kalau tidak ada mekanisme jelas lalu apa yang bikin itu sukses?" katanya.
Lalu terkait mekanisme pendanaan, ia mengatakan apakah perlu ada ada "trust fund" khusus untuk pendanaan perubahan iklim pasca2020. Dan bagaimana kewajiban negara barat terhadap negara kecil dan berkembang.
Sejauh ini, ia mengatakan negara maju ingin melepas tanggung jawab tersebut dan ingin memberikan kepada sektor swasta.
COP 21: Kesepakatan Tekan Kenaikan Suhu Berjalan Alot
Hingga akhir perundingan di minggu pertama Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB (COP 21) di Paris, Prancis, kesepakatan untuk menekan kenaikan suhu bumi dua hingga dua derajat Celsius masih berjalan alot.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
3 jam yang lalu
Bank BJB (BJBR) Bicara Dividen dan Strategi Anorganik
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
6 jam yang lalu
Kala Prabowo Ingin Maafkan Koruptor demi Asset Recovery
11 jam yang lalu
Respons BI soal Pabrik Uang Palsu di UIN Makassar
12 jam yang lalu