Kabar24.com, JAKARTA - Jika Anda ingin mencari warisan Lee Kuan Yew, lihatlah ke seluruh penjuru Singapura. Makmur, tertib, bersih, efisien, dan bebas korupsi.
Hasil yang sangat mencengangkan untuk sebuah negara yang, menurut Lee sendiri, seharusnya tak pernah ada.
Dengan pemerintahan yang kecil dan bebas korupsi, Singapura di bawah kepemimpinan Lee berhasil menjadi lokasi tujuan bisnis, wisata, sekaligus penghubung transportasi dari 40% perdagangan maritim dunia, berkat lokasinya yang strategis di Selat Malaka.
JANGAN LEWATKAN: SBY Terkenang dengan Ucapan Lee yang Mengejutkan
Peraturannya yang pro-pasar dengan stabilitas politik selama puluhan tahun membuat Singapura menempati urutan pertama sebagai negara yang paling mudah dalam memberikan izin usaha versi Bank Dunia.
Namun resep Lee bagi keberhasilan ekonomi Singapura memiliki biaya tak murah, terutama terkait dengan hak asasi manusia. Lee tidak menenggang oposisi dan memenjarakan pengkritiknya tanpa persidangan.
Meski sejahtera, warga Singapura tidak memiliki akses terhadap media yang bebas, kebebasan berpendapat, ataupun kebebasan berkumpul. Unjuk rasa maupun bentuk protes lain jarang terjadi di Negeri Singa.
Pengkritik Lee juga menuding Lee melakukan nepotisme. Selain putra sulungnya, Lee Hsieng Loong, yang kini menjabat Perdana Menteri Singapura, kerabat Lee yang lain menempati posisi-posisi penting, baik dalam pemerintahan maupun perusahaan negara.
Selain itu, kelompok minoritas, seperti warga keturunan Melayu dan India, mengeluh mereka menjadi warga “kelas dua” dibanding warga keturunan Cina.
Lee mengakui tak nyaman dengan kebijakan keras yang diterapkan selama memerintah hingga 1990. “Saya harus melakukan sejumlah hal buruk, seperti memenjarakan sejumlah kolega tanpa persidangan,” kata Lee dalam wawancara dengan The New York Times pada September 2010.
“Saya mengakui apa yang saya lakukan tidak benar. Tapi saya melakukan itu dengan tujuan mulia.”