Bisnis.com, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Kehutanan berbeda pandangan mengenai tambang ilegal di kawasan hutan.
Ketua KPK Setyo Budiyanto menyebut bahwa hasil kajian dari Kedeputian Pencegahan dan Monitoring serta Kedeputian Koordinasi dan Supervisi (Korsup) menunjukkan, ternyata tidak semua pemegang IUP itu memiliki izin untuk beroperasi di kawasan hutan.
"Nah ini ada IUP yang kemudian dia memiliki PPKH, Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Tapi ada yang tidak punya," ujarnya pada konferensi pers bersama dengan tujuh kementerian di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (24/7/2025).
Setyo tidak memerinci lebih lanjut berapa tambang yang dimaksud olehnya diduga beroperasi ilegal di hutan. Namun demikian, dia menyebut ada total 9.009 tambang dengan kepemilikan IUP. Hanya lebih dari setengahnya yang diketahui aktif.
Temuan itu berdasarkan kajian ataupun gerakan yang dilakukan oleh KPK sejak beberapa tahun lalu. "IUP itu ada 9.000-an lah. Kemudian dari 9.000 itu yang aktif 4.252. Berarti sisanya 4.755 itu [ditemukan] enggak aktif," terangnya.
Adapun, lanjut Setyo, pemerintah telah mengatur bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
Baca Juga
Modus Tambang Ilegal
Setyo juga menambahkan bahwa KPK menemukan modus bahwa meski perusahaan-perusahaan tambang yang memiliki IUP itu tanpa mengantongi izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH). Namun, mereka tetap menyetorkan jaminan reklamasi.
Kementerian ESDM mengatur bahwa jaminan reklamasi adalah dana yang disediakan oleh Pemegang IUP atau IUPK sebagai jaminan untuk melakukan kegiatan reklamasi. Setyo menyebut, jaminan reklamasi disetorkan bagi pemegang IUP yang juga mengantongi PPKH apabila beroperasi di kawasan hutan.
"Harusnya kewajiban untuk menyetorkan jaminan reklamasi adalah IUP yang sudah memiliki PPKH. Tetapi, kemudian Kedeputian Pencegahan menemukan meskipun dia tidak memiliki PPKH, tapi dia setor juga," ungkapnya pada konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (24/7/2025).
Setyo menyebut masalah terkait dengan penyetoran jaminan reklamasi oleh pemegang IUP tanpa PPKH tidak sampai di situ saja. KPK menemukan bahwa penyetoran dana itu ke negara diterima dan dikhawatirkan disalahgunakan oleh para perusahaan yang diduga beroperasi ilegal di dalam hutan.
"Ini tentu menjadi permasalahan seolah-olah pelaku usaha itu kemudian menganggap legal dia beroperasional di kawasan hutan kemudian dia sudah menyetorkan jaminan reklamasinya. Nah ini menurut kami juga tidak tepat. Harusnya itu sudah ditolak gitu, pada saat sistem membaca karena PPKH-nya tidak ada, harusnya ditolak," terang mantan Direktur Penyidikan KPK itu.
Beda Pandangan
Sementara itu, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni masih enggan memberikan data yang dihimpun kementeriannya ihwal jumlah IUP yang beroperasi tanpa PPKH.
Raja Juli mengatakan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan Kedeputian Pencegahan untuk melakukan rekonsiliasi data. Menurutnya, data soal luas lahan tambang yang beroperasi di kawasan hutan tanpa izin pun masih berbeda antar kementerian dan lembaga.
"Sementara, data yang kami miliki masih selisih sekitar 50.000 hektare dengan KPK, kami juga memiliki data berbeda dengan [BKPM, red]," ujarnya.
Pria yang juga Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu menargetkan, kementeriannya bakal mengundang lagi KPK untuk rekonsiliasi data terkait dengan IUP tanpa PPKH itu.
"Apakah kesalahannya karena memang data yang belum komplit atau metodologinya, berdasarkan citra satelit, tingkat kepercayaannya berapa persen sehingga memiliki implikasi pada berapa luasan sebenarnya," ujarnya.
Kawasan Tambang
Di sisi lain, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral alias ESDM mengikuti rekomendasi KPK. Mereka bahkan mensyaratkan jaminan reklamasi bagi perusahaan tambang yang mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) mulai tahun 2025.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) ESDM Tri Winarno mengatakan, pihaknya telah mengubah aturan pengajuan RKAB dari tiga menjadi satu tahun. Hal itu sejalan dengan rekomendasi perbaikan kebijakan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Perubahan itu, terangnya, sudah akan berlaku bagi perusahaan-perusahaan yang mengajukan RKAB mulai dari Oktober 2025 mendatang. Hal itu kendati pengajuan RKAB yang sebelumnya sudah disetujui untuk 2025, 2026 hingga 2027 belum menerapkan syarat jaminan reklamasi.
"Mulai tahun 2026 pengajuan RKAB pada Oktober 2025 sudah mempunyai syarat yaitu jaminan reklamasi. Jadi apabila perusahaan belum menempatkan jaminan reklamasi maka RKAB-nya tidak mendapatkan persetujuan," terang Tri pada konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (24/7/2025).
Tri kemudian memaparkan sejumlah rekomendasi atau perbaikan lain dari KPK yang sudah dilakukan Kementerian ESDM. Misalnya, meluncurkan sistem informasi data Minerba One Data Indonesia (MODI) dan Minerba One Map Indonesia (MOMI).
Kemudian, rekomendasi perbaikan tata kelola penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dengan sistem ePNBP. Digitalisasi sistem PNBP itu mulai efektif berlaku 2019, dan Tri mengeklaim sistem itu berdampak positif pada penerimaan negara.
"Apabila dibandingkan 5 tahun setelah 2019, itu kira-kira penerimaan negaranya kurang lebih 2-3 kali lipatnya," ujarnya