Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Efek Berantai Badai PHK: OJK Waswas, Ekonomi Bakal Suram?

Tren bertambahnya jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK), berpotensi memicu efek berantai bagi perekonomian
Akbar Evandio, Ni Luh Anggela
Akbar Evandio & Ni Luh Anggela - Bisnis.com
Minggu, 25 Mei 2025 | 23:16
Sejumlah buruh melakukan aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Rabu (3/7/2024). Aksi yang diikuti oleh ratusan buruh tersebut mendesak pemerintah segera mengambil langkah konkret dalam melindungi industri lokal, mulai dari ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga persaingan usaha yang tidak sehat.
Sejumlah buruh melakukan aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Rabu (3/7/2024). Aksi yang diikuti oleh ratusan buruh tersebut mendesak pemerintah segera mengambil langkah konkret dalam melindungi industri lokal, mulai dari ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga persaingan usaha yang tidak sehat.

Bisnis.com, JAKARTA -- Tren bertambahnya jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK), berpotensi memicu efek berantai bagi perekonomian. Pasalnya, PHK akan memicu penurunan jumlah masyarakat yang memperoleh penghasilan dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap daya beli.

Sekadar catatan, ekonomi Indonesia sebagian besar digerakan oleh konsumsi masyarakat. Namun demikian, pada kuartal 1/2025 lalu, ekonomi tumbuh di bawah ekspektasi. Daya beli masyarakat mengalami pelemahan yang direpresentasikan oleh pelambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga dari 4,91% year on year menjadi 4,89% pada kuartal 1/2025. 

Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahkan was-was PHK dan pelemahan daya beli masyarakat berpotensi meningkatkan risiko Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bermasalah.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan kualitas kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) KPR pada Maret 2025 berada pada level 2,93%. Jumlah itu meningkat dari Maret 2024 yang sebesar 2,49%, meskipun masih di bawah ambang batas 5%.

“Namun, seiring masih berlanjutnya gelombang PHK dan indikasi pelemahan daya beli masyarakat, perlu peningkatan kewaspadaan terhadap potensi perburukan risiko kredit pada sektor KPR bagi debitur yang berada pada level middle-low income,” katanya dalam jawaban tertulis Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK bulanan, Minggu (25/5/2025).

Dian menjelaskan berdasarkan hasil survei properti Bank Indonesia (SHPR), KPR masih menjadi pilihan utama masyarakat untuk mengakses pembelian rumah di pasar primer. Penyaluran KPR tumbuh 8,89% YoY hingga bulan ketiga tahun ini, melambat dari pertumbuhan 14,26% YoY pada periode sama tahun lalu. SHPR Bank Indonesia, menurut Dian, juga mengindikasikan pertumbuhan harga dan penjualan properti residensial di pasar primer pada kuartal/I 2025 yang masih tumbuh terbatas.

“Hal ini sejalan dengan perlambatan pertumbuhan kredit secara umum, di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi dan kewaspadaan terhadap kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat,” katanya.

Adapun, menilik perkembangan sepanjang April 2024-Mei 2025, OJK mencatat jumlah rekening KPR baru sekitar 531.000 dengan nilai realisasi mendekati Rp200 triliun. Sekitar 85% dari rekening tersebut adalah KPR tipe 22 sampai dengan 70. 

Debitur tipe rumah tersebut juga menjadi penyumbang porsi terbesar KPR, yakni 60,27% dari keseluruhan pembiayaan. Sementara itu, porsi kredit pemilikan rumah tipe di atas 70 mencapai 28,96% dari total KPR.

Dian kemudian menyebut bahwa porsi kredit KPR terhadap total kredit cukup stabil pada kisaran 10% selama 4 tahun terakhir. Porsi kredit KPR terhadap total kredit nasional sebesar 10,16% hingga bulan ketiga 2025. “OJK terus meminta perbankan untuk mendukung program-program yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian dan tata kelola yang baik,” ucapnya. 

Jumlah PHK Melonjak

Sementara itu, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) melaporkan, jumlah korban pemutusan hubungan kerja (PHK) mencapai 26.455 orang hingga per 20 Mei 2025. 

Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemnaker Indah Anggoro Putri menyampaikan, jumlah tersebut mengalami peningkatan sekitar 5.000 orang dibanding Januari-Mei 2024. 

“Lebih tinggi sedikit saja [dibanding Januari-Mei 2024],” kata Indah saat ditemui di Kantor Kemnaker, Jakarta Selatan, Selasa (20/5/2025).

Indah mengungkap, korban PHK paling banyak terjadi di Jawa Tengah. Dia mengungkap, setidaknya sebanyak 10.695 orang di PHK sepanjang Januari-Mei 2025. Provinsi dengan kasus PHK terbanyak kedua ditempati oleh Daerah Khusus Jakarta dengan total kasus sebanyak 6.279 orang, dan Kepulauan Riau 3.570 orang.

Pekerja Sritex yang kena PHK imbas perusahaan pailit./Antara
Pekerja Sritex yang kena PHK imbas perusahaan pailit./Antara

Terkait Kepulauan Riau yang kini masuk dalam tiga besar provinsi kasus PHK terbanyak, Indah mengaku perlu mendalami penyebabnya lebih lanjut. Kendati begitu, dia memastikan bahwa data PHK yang masuk ke Kemnaker merupakan laporan langsung dari dinas ketenagakerjaan di daerah.

Untuk sektornya, Indah mengungkap bahwa kasus PHK paling banyak terjadi di sektor pengolahan, perdagangan besar eceran, dan jasa. “Sektornya [paling banyak] pengolahan, perdagangan besar eceran, dan jasa,” ujarnya. 

Beda Angka dengan Apindo

Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat korban PHK mencapai 73.992 pekerja pada periode 1 Januari - 10 Maret 2025. Angka tersebut berdasarkan data pekerja yang tidak lagi menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan) pada periode tersebut. 

Sementara, jumlah pekerja yang mengajukan klaim Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan karena PHK mencapai 40.683 pekerja. 

Menanggapi perbedaan data tersebut, Indah menyebut bahwa data tersebut perlu dilihat apakah sudah inkrah, dalam arti kedua belah pihak dalam hal ini pekerja dan pemberi kerja telah menyepakati proses PHK tersebut.

“Data Kemnaker adalah data yang valid dari dinas-dinas tenaga kerja, mereka yang sudah inkrah PHK, jadi resmi,” tegasnya.

Efek Deindustrialisasi?

Sekadar catatan, ekonomi Indonesia sendiri memang penuh tantangan. Pemerintah menargetkan pertumbuhan bisa mencapai 8%. Namun demikian, struktur ekonomi yang rapuh serta besarnya porsi pekerja informal membayangi target dan pencapaian ekonomi selanjutnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS), setidaknya mencatat bahwa, kontribusi sektor industri pengolahan ke produk domestik bruto alias PDB tidak pernah menembus angka 20%. Per kuartal 1/2025 lalu, kontribusi manufaktur ke PDB hanya 19,25% atau turun dibandingkan kuartal 1/2024 mencapai 19,28%.

Padahal, sektor manufaktur menjadi tumpuan ekonomi sekaligus sebagai bumper dalam menghadapi bonus demografi yang akan terjadi dalam beberapa tahun lagi. Pelambatan kinerja manufaktur tentu akan mempengaruhi daya serap tenaga kerja ke depan. 

Aktivitas pekerja./Antara
Aktivitas pekerja./Antara

Saat ini, mengacu data BPS, jumlah angkatan kerja pada Februari 2025 mencapai 153,05 juta. Jumlah itu terdiri dari 145,7 juta penduduk bekerja dan penduduk yang menganggur alias pengangguran 7,8 juta.

Namun demikian, yang menjadi persoalan adalah, proporsi jumlah tenaga kerja yang bergerak di sektor formal cenderung mengalami penurunan pada Februari 2025. BPS mencatat bahwa penduduk yang bekerja di sektor informal sebanyak 86,58 juta atau 59,4%, sedangkan yang bekerja formal hanya 59,19 juta atau 40,6%. 

Persentase pekerja sektor formal itu mengalami penurunan sebanyak 0,23 basis poin jika dibandingkan dengan posisi Februari 2024 yang tercatat sebanyak 40,83%.

Tren kenaikan jumlah pekerja informal itu juga tampak jika melihat status para pekerja. Pada Februari 2025, persentase pekerja yang berstatus sebagai buruh, karyawan atau pegawai turun menjadi 37,08%. Padahal pada Februari 2024 lalu, persentasenya sebanyak 37,31%. 

Sementara itu, jumlah penduduk yang berstatus berusaha sendiri atau wiraswasta, persentasenya dari 20,47% pada Februari 2024 menjadi 20,58 pada Februari 2025. Kenaikan juga terjadi terhadap penduduk yang berstatus sebagai buruh tidak tetap, pekerja keluarga atau tidak dibayar dari 15,78% (2024) menjadi 16,04% (2025).

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper