Bisnis.com, JAKARTA — Bangsa Indonesia seolah-olah mengalami amnesia dan melupakan bahwa negara ini pernah dikuasai oleh militer yang melaksanakan dwifungsi.
Wakil Direktur Imparsial Hussein Ahmad mengatakan Indonesia punya pengalaman selama 32 tahun berada dalam rezim otoritarianisme militeristik Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto.
Menurutnya, salah satu alasan kenapa presiden kedua itu bisa berkuasa selama puluhan tahun, karena disokong oleh dua hal yakni Golkar serta militer yang ketika itu bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). kedua adalah oleh ABRI.
“Pak Harto menempatkan militer aktif pada saat itu dalam jabatan-jabatan yang strategis, jabatan-jabatan politik, jabatan-jabatan pemerintahan, yang kemudian dalam tahap tertentu berlawanan dengan demokrasi dan sistem negara hukum yang baik,” ujarnya dalam program bincang Broadcash Youtube Bisniscom dikutip Senin (24/3/2025).
Menurutnya, pengangkatan Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet mengingatkan publik bahwa Indonesia pernah berada di zaman seperti saat Orde Baru itu, di mana TNI semua berkuasa dan supremasi sipil dipinggirkan.
Dia menilai, praktik dwiifungsi pascareformasi sebenarnya diam-diam sudah mulai terjadi sebelum Prabowo Subianto menjabat sebagai presiden. Namun, pada rezim saat ini dilakukan secara terang-terangan.
Baca Juga
Dia mencontohkan penunjukkan Majen Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog) yang dinilai tidak ada kaitannya dengan tugas dan fungsi TNI. Prajurit TNI tidak dilatih menjadi birokrat atau berbisnis sehingga penempatan jabatan sipil seperti itu merupakan sebuah kekeliruan yang nyata dan menandakan dwifungsi TNI itu sudah kembali.
“Sebagai catatan kami menemukan data bahwa saat ini itu sudah lebih dari 2.500 TNI aktif di jabatan sipil. Artinya prinsip distingsi sipil dan militer ini sudah kacau,” katanya.
Dia membantah argumen yang menyatakan pihak militer tidak pernah akan kembali menduduki jabatan sipil. Hal ini dapat dibuktikan pada masa kepemimpinan Joko Widodo terdapat beberapa pelaksana tugas kepala daerah merupakan perwira militer aktif.
Tentu saja penunjukkan anggota TNI untuk menduduki jabatan sipil menurutnya tidak adil. Di tengah masyarakat yang kesulitan mencari pekerjaan, pemerintah justru membuka ruang yang luas kepada TNI untuk masuk ke jabatan sipil.
“Bayangkan ASN saja yang sudah terpilih pelantikannnya ditunda sampai Oktober. Tapi kok sekarang di tengah-tengah kondisi yang demikian, justru pemerintah berusaha membuka ruang kepada TNI yang jelas-jelas sudah punya pekerjaan, dia untuk bisa double job bahkan, atau bahkan triple job di jabatan-jabatan sipil yang sama sekali tidak punya kaitannya dengan pertahanan,” tuturnya.
Oleh karena itu, seorang anggota TNI yang ingin menempati jabatan sipil semestinya mengajukan pengunduran diri atau pensiun dini dari dinas kemiliteran. Hal itu sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Ssecara konsep dalam negara demokrasi, prinsip pembedaan atau distingsi antara tugas-tugas sipil dan militer jelas diatur. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dimana Kementerian Pertahanannya dijalankan oleh mayoritas pejabat sipil.
“Tanpa supremasi sipil, kita akan kembali ke Orde Baru. Bahkan dalam tahap yang paling parah, seperti Thailand, Myanmar, junta militer berkuasa, kudeta terjadi. Itu yang kita tidak inginkan,” ujarnya.