Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Utama PT Indofarma Tbk. (INAF) periode 2019-2023 Arief Pramuhanto didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp377,5 miliar terkait kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan perusahaan pada tahun 2020-2023.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) Lenny Sebayang menyampaikan kerugian negara disebabkan lantaran Arief bersama-sama dengan pihak lain telah memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi.
"Keuangan negara terjadi pada Indofarma dan anak perusahaan atas pengelolaan keuangan pada Indofarma, anak perusahaan, dan instansi terkait lainnya," kata JPU dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Senin (17/3/2025) dilansir dari Antara.
Dengan demikian, perbuatan Arief diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Ayat (1) huruf b Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Dalam sidang yang bersamaan, terdapat pula Manajer Keuangan dan Akuntansi PT Indofarma Tahun 2020 Bayu Pratama Erdhiansyah, Direktur PT Indofarma Global Medika (IGM) periode 2020-2023 Gigik Sugiyo Raharjo, serta Manajer Keuangan PT IGM periode 2020-2023 Cecep Setiana Yusuf, yang dibacakan dakwaannya bersama dengan Arief.
Kerugian Negara di Kasus Korupsi Indofarma
JPU memerinci, beberapa pihak yang telah diperkaya karena perbuatan korupsi tersebut, yakni produsen alat kesehatan Hong Kong, SWS (HK) Ltd. sebesar Rp12,39 miliar atas pengeluaran dana Indofarma untuk pembayaran bahan baku masker dan masker jadi.
Baca Juga
Kemudian, memperkaya Arief bersama dengan Gigik, Cecep, dan Bayu atas kelebihan pembayaran pada transaksi pembayaran produk TeleCTG kepada PT ZTI sebesar Rp4,5 miliar serta memperkaya keempatnya sebesar Rp18 miliar atas kelebihan pembayaran uang muka pembelian APD hazmat kepada PT Mitra Medika Utama (MMU).
Korupsi juga dilakukan untuk memperkaya keempat terdakwa Rp24,35 miliar atas kesalahan transfer kepada PT Indogenesis Medika sebesar Rp13 miliar, PT Harmoni Nasional Teknologi Indonesia (PT HNTI) sebesar Rp3 miliar, dan PT MMU sebesar Rp8,35 miliar serta memperkaya keempatnya yang berasal dari transaksi pengeluaran dana unit bisnis Fast Moving Consumer Good (FMCG) dan PT IGM sebesar Rp135,29 miliar.
Selanjutnya, memperkaya Koperasi Nusantara atas pencairan simpanan berjangka senilai Rp35 miliar yang bersumber dari pengeluaran dana PT IGM dalam bentuk simpanan berjangka serta PT Promedik sebesar Rp12,03 miliar atas pencairan Deposito PT IGM sebagai jaminan kredit PT Promedik di Bank OK!, yang digunakan untuk pembayaran utang PT Promedik kepada PT IGM dan operasional PT Promedik.
Memperkaya pula PT Promedik sebesar Rp1,53 miliar atas pembayaran bunga pinjaman PT Promedik di Bank OK! serta SWS (Hk) Ltd sebesar Rp6,42 miliar atas sisa persediaan bahan baku Masker INAmask yang tidak diproduksi serta PT Promedik sebesar Rp56,68 miliar atas piutang macet PT IGM dari penjualan produk rapid test Panbio kepada PT Promedik.
Lalu, memperkaya PT Promedik sebesar Rp68,25 miliar atas piutang PT IGM dari penjualan rapid test Panbio kepada PT Promedik yang hilang karena dibuat seolah-olah lunas dengan menggunakan dana dari fasilitas kredit Bank OK! dan pinjaman PT CTI.
"Serta memperkaya keempat terdakwa Rp1,65 miliar yang berasal dari biaya pemasaran atas produk TeleCTG yang tidak diterima oleh PT IGM dan sebesar Rp1,39 miliar atas imbal jasa simpanan berjangka pada Koperasi Nusantara yang tidak diserahkan kepada PT IGM," imbuh JPU.