Bisnis.com, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan kerugian negara sebesar Rp193,7 triliun dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di PT Pertamina (Persero) hanya total kerugian pada tahun 2023.
"[Dugaan nilai kerugian keuangan negara] Rp193,7 triliun itu pada tahun 2023," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar di Gedung Kejaksaan Agung pada Rabu (26/2/2025).
Dia menjelaskan kerugian tersebut terdiri atas lima komponen, yaitu kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun, kerugian impor minyak mentah melalui broker sekitar Rp2,7 triliun, kerugian impor BBM melalui broker sekitar Rp9 triliun, kerugian pemberian kompensasi periode 2023 sekitar Rp126 triliun, dan kerugian pemberian subsidi 2023 sekitar Rp21 triliun.
Harli mengatakan jumlah kerugian tersebut berdasarkan perkiraan sementara penyidik Kejagung bersama ahli. Meski demikian, dia memprediksi bahwa kerugian negara bisa membengkak lantaran kasus ini terjadi pada 2018–2023.
Oleh karena itu, penyidik Kejagung akan mendalami ada atau tidaknya kompensasi dan subsidi yang diberikan oleh negara pada tahun-tahun sebelum 2023.
"Nanti juga kami akan melihat, mendorong penyidik apakah bisa ditelusuri mulai dari 2018 ke 2023 secara akumulasi. Kami juga mengharapkan kesiapan ahli untuk melakukan perhitungan terhadap itu," ujarnya.
Baca Juga
Sebelumnya, Kejagung merespons soal pernyataan pihak Pertamina Patra Niaga yang menyatakan tidak mengoplos bahan bakar Pertamax.
Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XII DPR RI, Rabu (26/2/2025). Plh. Dirut Pertamina Patra Niaga Mars Ega Legowo Putra menyatakan telah melakukan blending dalam BBM Pertamina.
Namun, menurutnya, proses pencampuran BBM Pertamax dengan zat aditif itu dilakukan bertujuan untuk meningkatkan performa mesin kendaraan.
Merespons hal tersebut, Dirdik Jampidsus Kejagung RI, Abdul Qohar menyatakan tidak dalam kapasitas mengomentari cara kerja bisnis atau teknis dari Pertamina Patra Niaga.
Namun demikian, Qohar menekankan bahwa pihaknya mengusut setiap perkara minyak mentah ini berdasarkan fakta dan alat bukti yang telah ditemukan penyidik.
Menurutnya, penyidik Jampidsus menemukan bahwa ada modus pencampuran Ron 90 atau di bawahnya Ron 88.
"Tetapi penyidik menemukan tidak seperti itu. Ada RON 90 atau dibawahnya ya 88 diblending dengan RON 92, jadi RON dengan RON," ujar Qohar di Kejagung, Rabu (26/2/2025) malam.
Dia menambahkan, BBM hasil pencampuran itu kemudian dipasarkan atau dijual dengan harga yang sama seperti Ron 92 atau sejenis Pertamax.
Di samping itu, Qohar menekankan bahwa pihaknya bakal melakukan pendalaman lebih lanjut terkait dengan temuan blending tersebut.
"Jadi hasil penyidikan saya sudah sampaikan itu, Ron 90 atau di bawahnya itu, tadi fakta yang ada di transaksi Ron 88 diblending dengan 92 dan dipasarkan seharga 92," pungkasnya.