Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai melayangkan panggilan pemeriksaan terhadap sejumlah eselon II atau Direktur di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) pada kasus dugaan gratifikasi dan pencucian uang mantan Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Rita Widyasari.
Pada kasus Rita atau RW, pekan ini KPK telah memanggil dua orang Direktur Bea Cukai yakni Direktur Penindakan dan Penyidikan Bea Cukai Rizal pda 23 Desember, serta Direktur Kerja Sama Internasional Kepabeanan dan Cukai Anita Iskandar pada 24 Desember. KPK mengonfirmasi bahwa saksi Anita Iskandar meminta penjadwalan ulang dalam dua minggu ke depan.
"[Saksi] meminta penjadwalan ulang ke tanggal 8," ujar Juru Bicara KPK Tessa Mahardika Sugiarto kepada wartawan, Rabu (25/12/2024).
Sebelumnya, KPK telah lebih dulu memeriksa Direktur Jenderal (Dirjen) Bea Cukai Kemenkeu Askolani sebagai saksi pada kasus RW, Jumat (20/12/2024). Dia diperiksa oleh penyidik terkait dengan ekspor batu bara.
Pada keterangan terpisah, Tessa menjelaskan bahwa Askolani diperiksa berkaitan dengan pengetahuannya soal ekspor komoditas itu ke luar negeri lantaran Bea Cukai adalah otoritas yang menaungi hal tersebut.
Untuk diketahui, tersangka lRW diduga menerima gratifikasi terkait dengan produksi batu bara per metric tonne. Batu bara itu diekspor ke luar negeri. Meski demikian, lanjut Tessa, KPK belum sampai kepada dugaan adanya keterlibatan Dirjen Bea Cukai secara langsung pada kasus RW.
Baca Juga
"Tidak semua saksi itu paham perkara intinya, bisa jadi yang bersangkutan dipanggil karena ada prosedur yang diketahui penyidik dan penyidik butuh keterangan bisa dikatakan semi ahli untuk menjelaskan proses tersebut seperti apa, jadi bisa jadi yang bersangkutan tidak tahu tetapi hal ini masih di dalami penyidik," kata Tessa.
Dalam catatan Bisnis.com, ini bukan pertama kalinya eselon I Kemenkeu diperiksa oleh penyidik KPK sebagai saksi dalam kasus RW. Sebelumnya, pada Oktober 2024, lembaga antirasuah telah memeriksa Dirjen Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata terkait dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) produksi batu bara di Kutai Kartanegara.
Untuk diketahui, kasus Rita berkaitan dengan dugaan penerimaan gratifikasi olehnya dari perusahaan-perusahaan atas produksi batu bara per metric tonne.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu pernah menjelaskan, KPK menduga adanya penerimaan gratifikasi oleh Rita saat menjabat Bupati terkait dengan produksi batu bara di daerahnya.
Kasusnya berbeda dengan suap izin pertambangan. Asep memaparkan, Rita diduga menerima jatah sekitar US$3,3 sampai dengan US$5 untuk per metrik ton produksi batu bara sejumlah perusahaan.
"Kecil sih jumlahnya, jatahnya per metrik ton antara US$3,3 sampai US$5. Ini kan kalau US$5 dikalikan Rp15.000 [kurs rupiah per dolar], cuma Rp75.000. Tapi kan dikalikan metrik ton, ribuan bahkan jutaan bertahun-tahun sampai habis kegiatan pertambangan itu. Jadi ini terus-terusan," kata Asep kepada wartawan beberapa waktu lalu.
Di sisi lain KPK juga menduga ada praktik pencucian uang dari hasil korupsi Rita. Pada Mei 2024, KPK melakukan penggeledakan di Jakarta, Samarinda dan Kutai Kartanegara. Penggeledahan dilakukan pada sembilan kantor dan 19 rumah.
Hasilnya, penyidik menyita 72 mobil dan 32 motor; 6 tanah dan bangunan; uang Rp6,7 miliar dalam bentuk rupiah serta setara Rp2 miliar dalam bentuk dolar AS dan lainnya; serta barang bukti dokumen elektronik.