Bisnis.com, JAKARTA - China mengecam rencana Presiden terpilih AS Donald Trump untuk mengenakan tarif tambahan pada barang-barang China terkait masalah aliran fentanil dari negara tersebut. Mereka mengatakan bahwa pemerintahan Trump terkesan menyalahkan China atas krisis opioid di AS.
Trump, yang akan menjabat mulai 20 Januari 2025 mendatang, mengatakan pada dirinya akan mengenakan tarif 10% pada barang-barang China. Hal tersebut agar Beijing berbuat lebih banyak untuk menghentikan perdagangan bahan kimia buatan China yang digunakan dalam narkotika yang sangat adiktif tersebut.
Trump sebelumnya juga telah mengancam akan mengenakan tarif lebih dari 60% pada barang-barang China saat berkampanye.
"Sikap China terhadap kenaikan tarif sepihak konsisten. Menerapkan tarif sewenang-wenang pada mitra dagang tidak akan menyelesaikan masalah Amerika sendiri," Juru Bicara Kementerian Perdagangan China, He Yadong, dikutip dari Reuters pada Jumat (29/11/2024).
Dia menambahkan bahwa AS harus mematuhi peraturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan bekerja sama dengan China untuk mendorong hubungan ekonomi dan perdagangan yang stabil.
Komentar Trump memicu apa yang para analis perkirakan akan menjadi perang dagang yang melelahkan selama empat tahun. Perang Dagang tersebut berpotensi menimbulkan efek yang lebih buruk dibandingkan dengan masa jabatan pertamanya yang memberlakukan tarif sebesar 7,5%-25% dan mencabut rantai pasokan global.
Baca Juga
Sementara itu, Howard Lutnick, pilihan Trump untuk mengepalai Departemen Perdagangan dan mengawasi Kantor Perwakilan Dagang AS, mengatakan dalam sebuah wawancara podcast pada bulan Oktober bahwa "China menyerang Amerika" dengan fentanil dan menyarankan Trump mungkin mengenakan tarif setinggi 200% terhadap China.
Adapun, editorial di media pemerintah China minggu ini telah memperingatkan bahwa bea masuk baru dapat menyeret dua ekonomi teratas dunia itu ke dalam perang tarif yang saling merusak.
Sudah ada perasaan deja vu yang aneh pada hari Kamis setelah media pemerintah China memuji beberapa perusahaan AS atas "kolaborasi yang kuat" - komentar yang mengingatkan pada bagaimana ketegangan dengan AS diliput oleh pers China selama perang dagang sebelumnya.
Kala itu, para eksekutif perusahaan AS dan investor asing akan meneliti media pemerintah China untuk mencari sinyal mengenai perusahaan AS mana yang mungkin diuntungkan dan mana yang mungkin dikenai sanksi saat ketegangan meningkat.
Media Global Times milik pemerintah China pada Rabu malam menyoroti Apple, Tesla, Starbucks, dan HP.
"Politisi AS perlu memperhatikan dan menghormati keinginan nyata para pebisnis Amerika untuk kerja sama ekonomi dan perdagangan dengan menyesuaikan lingkungan kebijakan yang sesuai untuk perusahaan," katanya.
China Daily juga mencatat bahwa Morgan Stanley menerima persetujuan regulasi pada bulan Maret untuk memperluas operasinya di China, dengan mengutip hal ini sebagai bukti antusiasme perusahaan keuangan asing untuk berinvestasi di Negeri Tirai Bambu.
"Tidak ada pihak yang pandai mengomunikasikan kebijakan secara langsung, jadi para pebisnis sibuk mengamati tanda-tanda dan mencoba memisahkan sinyal dan gangguan di media tradisional dan media sosial," kata seorang eksekutif Amerika yang berkantor pusat di Beijing tentang perang dagang pertama.
Eksekutif tersebut tidak diberi wewenang untuk berbicara kepada media dan menolak untuk disebutkan identitasnya.
Perang dagang AS-China selama masa jabatan pertama Trump menyebabkan China mengancam akan melarang perusahaan-perusahaan AS mengimpor, mengekspor, dan berinvestasi di China dengan membuat "Daftar Entitas yang Tidak Dapat Diandalkan".
Saat itu, Global Times melaporkan daftar tersebut akan menargetkan perusahaan-perusahaan AS seperti Apple, Cisco Systems, dan Qualcomm. Namun, China tidak pernah menindaklanjuti ancaman tersebut dan hingga saat ini daftar tersebut hanya mencakup perusahaan-perusahaan AS yang terlibat dalam penjualan senjata ke Taiwan.
Mitra di konsultan Plenum, Bo Zhengyuan, memperkirakan Beijing tidak akan terburu-buru menggunakan alat-alat seperti Daftar Entitas yang Tidak Dapat Diandalkan segera setelah pengumuman tarif resmi apa pun setelah Trump berkuasa, mengingat kondisi ekonomi China yang lemah.
Namun, Beijing dapat membalas nanti jika merasa para pembuat kebijakan AS merugikan kepentingan komersial China.
"Terjadi kerusakan tambahan pada kejadian terakhir, dan akan terjadi kerusakan tambahan kali ini," tambahnya.