Bisnis.com, JAKARTA – Tanah Papua tak hanya kaya akan sumber daya alam emasnya, namun juga ada segudang potensi dari calon generasi emas yang belum terjamah pendidikan merata. Anak-anak di Papua sejatinya memiliki mimpi besar, namun sulitnya akses ke pendidikan menjadi tantangan tersendiri bagi mereka.
Setidaknya, itulah kesaksian dari Diana Cristiana Da Costa, yang mengabdikan hidupnya menjadi seorang guru muda dalam program Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) di Kampung Atti, Kabupaten Mappi, Papua Selatan sejak 2018 silam.
Pertama kali menginjakkan kaki di tanah Papua, Diana mengisahkan perjuangannya untuk sampai ke tempatnya mengajar yang harus menempuh perjalanan kurang lebih satu hari dari pusat kota, menyusuri sungai dengan perahu kayu, hingga berjalan kaki melintasi hutan.
Diana mengemban tugas untuk mengajar di Sekolah Dasar (SD) Negeri Atti, satu-satunya sekolah di Kampung Atti. Perlu diketahui, ada sekitar 200 kepala keluarga di Kampung Atti, namun banyak anak yang tidak bersekolah karena harus membantu orang tua mencari makan di hutan.
Aktivitas belajar-mengajar memang sudah terhenti lama sebelum Diana tiba, karena guru dari luar jarang datang. Bahkan, siswa kelas 6 SD belum bisa membaca maupun menulis.
Guru Diana bersama murid-muridnya di tepi sungai / dok.pribadi
"Jadi, anak-anak ini dulunya tidak bisa membaca, menulis, atau berhitung. Maka, kami mengisi sekolah-sekolah yang dulunya kosong, dengan adanya program GPDT ini, maka sekolah itu yang dulunya 'mati suri', menjadi aktif kembali, dan pembelajarannya bisa dibilang sudah 80% efektif," jelas Diana kepada Bisnis, dikutip Jumat (8/11/2024).
Proses adaptasi Diana untuk mengajar di pedalaman Papua itu pun tidaklah mudah. Perlu waktu setidaknya dua tahun untuk mengajarkan baca tulis, serta mengubah pola pikir masyarakat di Kampung Atti mengenai pentingnya pendidikan. Tak patah arang, Diana pun terus merajut asa dari anak-anak Kampung Atti untuk memiliki cita-cita setinggi mungkin.
"Sebenarnya dulu mereka tidak tahu apa itu cita-cita. Tetapi, dengan adanya Program Guru Penggerak Daerah Terpencil ini, kami mengajarkan mereka tentang arti sebuah mimpi. Jadi, sekarang mereka itu punya mimpi untuk menjadi orang-orang yang luar biasa. Ada yang bermimpi menjadi dokter, suster, bupati, bahkan guru," tuturnya.
Sebagai gambaran, SD Negeri Atti memiliki tiga ruang kelas yang serba terbatas. Para siswa duduk di lantai, lantaran terbatasnya jumlah bangku dan meja di sana. Sehari-hari, Diana fokus mengajarkan baca-tulis, berhitung, dan nasionalisme.
Setelah kehadiran Diana dan dua rekannya dari program GPDT, anak-anak Kampung Atti mulai bisa membaca dan menulis, serta mulai banyak murid-murid Diana yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
'Barang Mewah' Bernama Pendidikan
Sebagai tenaga pengajar yang mengabdi di pelosok Papua, menurut Diana, pendidikan merupakan barang mewah yang masih sukar diakses oleh anak-anak Papua, terkhusus di Kampung Atti.
Terbukti, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua, Indikator Pendidikan Papua tahun 2023 menunjukkan bahwa terdapat 31,02% penduduk usia 15 tahun ke atas belum atau bahkan tidak pernah sekolah, sedangkan 3,36% penduduk lainnya tidak punya ijazah SD.
Selanjutnya, penduduk tamatan SD tercatat sebanyak 14,30%, disusul tamatan SMP sebanyak 18,07% dan tamatan SMA 24,56%. Hanya 8,68% penduduk Papua yang berhasil tamat perguruan tinggi.
"Sejak mereka SD, kami selalu mendoktrin mereka untuk terus bermimpi yang tinggi. Karena kalau mereka hanya bermimpi sebatas tamat SD, lalu putus sekolah, akan sulit untuk menjadi orang sukses. Nanti hidup mereka hanya sebatas sampai di sini saja," tuturnya.
Perjuangan Diana untuk mencerdaskan generasi bangsa itu tentu saja tak lepas dari berbagai tantangan. Pertama, menurutnya kurikulum pendidikan yang ada di Indonesia saat ini tidak kontekstual dengan kondisi secara riil di provinsi paling timur Tanah Air itu.
“Sangat tidak kontekstual. Ini contoh paling sederhananya, bagaimana kita mengajarkan anak-anak masuk ke perpustakaan untuk membaca? Sedangkan anak-anak di sana tidak mengerti perpustakaan itu apa? Di sana tidak ada bentuk perpustakaan,” jelasnya.
Terlebih, sulitnya akses internet juga menjadi kendala yang dihadapi oleh Diana dan rekan-rekan sesama guru di Kampung Atti. Tentu saja, kondisi di sana sangat timpang dibandingkan sekolah-sekolah di Pulau Jawa.
“Berarti selama ini orang-orang hanya melihat bahwa Pulau Jawa dan Jakarta itu hanya sebagai suatu kemegahan saja. Tetapi di Papua sama sekali tidak tersentuh,” kata Diana.
Harapan untuk Pemerintahan Baru
Dengan segala tantangan yang ada, Diana menaruh harapan kepada pemerintahan baru yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto untuk bisa membenahi sistem pendidikan agar lebih merata hingga ke ujung paling timur Indonesia.
Perlu diketahui, Presiden Prabowo Subianto telah menunjuk menteri baru di bidang pendidikan untuk menggantikan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim yang telah menyelesaikan masa jabatannya.
Ada tiga menteri yang ditunjuk Presiden Prabowo untuk menangani bidang pendidikan dan kebudayaan. Pertama, Prof. Abdul Mu'ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah. Selanjutnya, Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, serta Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan.
Adapun, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti mengatakan akan mengkaji ulang penerapan kebijakan Kurikulum Merdeka Belajar, Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan jalur zonasi hingga peniadaan Ujian Nasional (UN).
Harapan Diana sederhana, dia hanya ingin pemerintah menaruh perhatian lebih untuk para murid, tenaga pengajar, maupun fasilitas pendidikan di Papua, agar pendidikan yang seharusnya menjadi kebutuhan dasar bagi setiap manusia itu tidak lagi dianggap sebagai “barang mewah” oleh masyarakat di Tanah Papua.
“Harapan saya ya cobalah sekali-sekali pemerintah datang ke pedalaman Papua untuk melihat langsung kondisi di lapangan. Karena kalau mereka hanya terima datanya dari kursi Ibu Kota memang agak susah. Nanti tidak akan nyambung dengan kami yang mengalami langsung di lapangan,” pungkasnya.
Suasana belajar mengajar di Kampung Atti, Papua / dok.pribadi
Perjuangan Diana mencerdaskan generasi bangsa di tanah Papua itu pun layak mendapatkan apresiasi. Salah satunya, Diana menerima apresiasi 14th SATU Indonesia Awards 2023 oleh emiten konglomerasi PT Astra International Tbk.
Tepat setahun yang lalu, pada November 2023, PT Astra International Tbk. mengapresiasi lima pemuda-pemudi yang memberikan kontribusi positif bagi bangsa dan masyarakat melalui lima bidang, yaitu kesehatan, pendidikan, kewirausahaan, lingkungan dan teknologi serta satu kategori kelompok yang mewakili kelima bidang tersebut.
“Begitu banyaknya anak muda Indonesia, yang tersebar dari ujung barat Sumatra hingga ujung timur Papua, dengan segala keterbatasannya, yang memiliki semangat dan inovasi yang luar biasa untuk membuat perubahan positif bagi masyarakat sekitarnya,” ujar Presiden Direktur Astra Djony Bunarto Tjondro dalam sambutannya kala itu.
Di bidang pendidikan, penghargaan diberikan kepada pemudi asal Papua, Diana Cristiana Dacosta Ati. Selanjutnya, penghargaan di bidang kesehatan diberikan kepada seorang bidan dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yaitu Theresia Dwiaudina Sari Putri, Kemudian di bidang Kewirausahaan ada Alan Efendhi dan bidang Teknologi Reza Permadi. Sementara untuk kategori Kelompok, penghargaan diberikan kepada Rengkuh Banyu Mahandaru.
Para penerima apresiasi 14th SATU Indonesia Awards 2023 itu mendapatkan dana bantuan kegiatan sebesar Rp65 juta dan juga pembinaan kegiatan yang dapat dikolaborasikan dengan kontribusi sosial berkelanjutan Astra, seperti Kampung Berseri Astra dan Desa Sejahtera Astra.