Bisnis.com, JAKARTA -- Kenaikan uang kuliah tunggal alias UKT menjadi sorotan banyak pihak. Protes mahasiswa terjadi di mana-mana. Ada yang sampai dilaporkan ke polisi karena mengkritik rektornya yang menaikkan UKT secara ugal-ugalan.
Belum lagi pernyataan Plt Sekretaris Direktorat Jenderal Diktiristek Tjitjik Srie Tjahjandarie yang secara terbuka menganggap bahwa pendidikan tinggi sebagai pendidikan tersier. Pernyataan itu menambah polemik kenaikan UKT semakin pelik.
"Kita bisa lihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education, jadi bukan wajib belajar," ujar Tjitjik belum lama ini.
Istilah tersier jika mengacu kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia alias KBBI bisa berarti sebagai yang ketiga. Sementara itu jika mengacu kepada pengertian secara ekonomi, kebutuhan tersier adalah segala sesuatu yang hanya bisa diakses ketika kebutuhan primer dan sekunder terpenuhi.
Kebutuhan tersier identik dengan barang-barang mewah dan segala sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan kebutuhan primer seperti sandang, papan dan pangan. Barang mewah lazimnya diakses oleh kalangan menengah ke atas.
Artinya jika pendidikan tinggi diartikan sebagai kebutuhan tersier, secara teori, orang yang bisa mengakses pendidikan tinggi adalah kelas masyarakat yang sudah selesai dengan kebutuhannya bukan masyarakat yang masih berjibaku dengan kebutuhan primer dan sekunder.
Baca Juga
Pernyataan itu tentu bertentangan dengan ambisi Presiden Jokowi yang ingin menggenjot rasio pendidikan tinggi. Rasio pendidikan tinggi di Indonesia masih jomplang. Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipublikasikan pada Oktober 2023 menunjukkan bahwa hanya 10,15% penduduk berumur 15 tahun ke atas yang lulus perguruan tinggi.
Mayoritas masih didominasi lulusan SMA sebanyak 30,22%, lulusan SD 24,62%, SMP 22,74%, dan tidak memiliki ijazah angkanya lebih tinggi dari masyarakat lulusan universitas yakni sebanyak 12,26%.
Rendahnya rasio penduduk berpendidikan tinggi ini sempat menjadi sorotan Presiden Joko Widodo (Jokowi) Januari lalu. Saat itu Jokowi sedang berbicara di Konvensi Kampus XXIX dan Temu Tahunan Forum Rektor Indonesia di Surabaya. Ia mengaku kaget rasio penduduk berpendidikan tinggi rendah sekali.
"Rasio penduduk berpendidikan S2 dan S3 terhadap populasi produktif itu juga masih sangat rendah sekali kita ini. Saya kaget juga kemarin dapat angka ini saya kaget. Indonesia itu di angkanya 0,45 persen. 0,45 persen," ujarnya dikutip melalui Youtube Sekretariat Presiden.
Ayah Gibran Rakabuming Raka itu kemudian membandingkan capaian rasio penduduk berpendidikan di Indonesia dengan sejumlah Negara tetangga, seperti Vietnam dan Malaysia yang masing-masing sudah berada di angka 2,43 persen, apalagi di sejumlah Negara maju angkanya mencapai 9,8 persen.
Ia pada waktu itu akan menggelar rapat untuk membahas soal rasio tersebut. Khususnya, untuk mencarikan solusi kebijakan apa yang akan diambil pemerintah untuk meningkatkan rasio penduduk berpendidikan S2 dan S3 itu.
"Enggak tahu anggarannya akan didapat dari mana. Namun akan kami carikan agar [rasio] S2, S3 terhadap populasi usia produktif itu betul-betul bisa naik secara drastis. Karena, kejauhan sekali 0,45 persen sama [Malaysia yang di] 2,43 persen. Angkanya memang kelihatannya, tapi kalau dikalikan ini sudah berapa kali. Lima kali lebih rendah dengan negara-negara yang tadi saya sampaikan," tuturnya.
Jokowi bahkan meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk mengoptimalkan pembiayaan pendidikan dan riset.
Menurutnya, optimalisasi tersebut bukan hanya dari anggaran dan pendapatan belanja negara (APBN) serta anggaran dan pendapatan belanja daerah (APBD), tetapi juga dari dana abadi yang dimiliki.
“Sekali lagi saya sangat paham semua upaya tersebut membutuhkan anggaran, membutuhkan pembiayaan di tengah tekanan berat fiskal kita, tapi apapun yang namanya sumber daya manusia menjadi sangat penting dalam 5, 10 tahun ke depan dan itu akan menjadi kunci,” tegas Jokowi.
UKT Sebagai Beban?
Ambisi presiden Jokowi untuk meningkatkan rasio pendidikan tinggi itu terancam menghadapi ganjalan lantaran biaya kuliah atau kebijakan UKT yang naik signifikan. DPR telah memanggil Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim untuk menjelaskan pemicu UKT naik ugal-ugalan.
Komisi X DPR bahkan telah memberikan waktu sepekan kepada Kemendikbud-Ristek untuk mengevaluasi polemik Uang Kuliah Tunggal (UKT).
“Simpelnya begini, Kemendikbud telat memberikan tanggapan terhadap isu ini, kira-kira gitu, kalau itu tidak masuk ke Komisi X mungkin tidak ada hari ini, nah jadi inilah hari ini kita mendesak isu yang beredar di masyarakat dan meminta segera agar dalam 1 minggu ke depan sebelum penerimaan mahasiswa baru, itu semua sudah dievaluasi,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR, Dede Yusuf, Rabu (22/5/2024).
Dede menjelaskan bahwa pihaknya telah mendesak untuk merevisi Permendikbud No. 2/2024, khususnya terkait biaya kenaikan atas. Sebab, hal itu bermasalah hingga kenaikannya disebut mencapai 500%.
“Dalam kesimpulan tadi sudah kita sampaikan untuk mencabut atau merevisi terutama biaya kenaikan atas, karena kalau yang bawahnya itu tidak ada masalah yang Rp500.000-Rp1000.000," jelasnya.
Dede mengatakan, pemerintah sudah berkomitmen untuk melakukan evaluasi. Alasannya, Permendikbud terkait menyebutkan bahwa semua kenaikan harus berdasarkan rekomendasi menteri.
"Nah, selama ini rekomendasi menteri itu tidak diberikan, jadi kita sekarang meminta agar rekomendasi itu harus dikawal, salah satunya dengan merevisi Permendikbud tersebut, sehingga batas atasnya jelas jangan sampai batas atasnya 500%, kira-kira begitu,” ucapnya di DPR.
Lebih lanjut, dia menegaskan bahwa nanti secara teknis kan diserahkan ke pemerintah, namun desakan terhadap pembenahan dari Permendikbud tersebut sudah dilakukan.
Adapun dia membenarkan bahwa benang merah polemik UKT mahal ini karena tidak adanya rekomendasi menteri, sehingga perguruan tinggi memiliki keleluasan untuk membuat skema sendiri dalam UKT tersebut tanpa jelas batasannya.
“Ya artinya diberi keleluasan kepada perguruan tinggi negeri untuk membuat skema sendiri tanpa jelas sampai dimana, gitu ya, itu yang akhirnya tadi kita tekan direvisi dengan memberikan ketentuan batas atas [UKT] di berapa persen,” tegasnya.