Bisnis.com, JAKARTA - Perpecahan pemerintah Israel terkait perang di Gaza semakin terlihat setelah Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant menuntut strategi yang jelas dari Perdana Menteri Benjamin Netanyahu ketika pasukannya kembali menggempur para pejuang Hamas.
Komentar dari Gallant yang menentang rencana Netanyahu membentuk pemerintahan militer di Jalur Gaza mencerminkan meningkatnya kekhawatiran dalam pembentukan keamanan karena kurangnya arahan dari Netanyahu mengenai siapa yang akan mengendalikan Gaza ketika perang berakhir.
Perpecahan juga terlihat antara dua mantan jenderal militer sentris di kabinet, Benny Gantz dan Gadi Eisenkot, yang mendukung seruan Gallant, dan partai-partai nasionalis religius sayap kanan yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Dalam Negeri Itamar Ben-Gvir, yang mengutuk komentar tersebut.
"Itu bukan cara untuk menjalankan perang," demikian judul berita utama tabloid sayap kanan Israel Today pada edisi Kamis di atas foto Netanyahu dan Gallant yang menghadap ke arah yang berbeda.
Selain membubarkan Hamas dan mengembalikan sekitar 130 sandera yang masih ditahan, Netanyahu belum menjelaskan tujuan strategis untuk mengakhiri agresi yang telah menewaskan sekitar 35.000 orang Palestina dan membuat Israel semakin terisolasi secara internasional.
Namun, didukung oleh Ben-Gvir dan Smotrich, Gallant menolak keterlibatan Otoritas Palestina dalam mengelola Gaza pascaperang, yang dibentuk di bawah perjanjian perdamaian sementara Oslo tiga dekade lalu dan secara umum dipandang secara internasional sebagai badan pemerintahan Palestina yang paling sah.
Baca Juga
Netanyahu sejauh ini tetap berpegang teguh pada janjinya untuk meraih kemenangan atas Hamas.
“Setelah itu, Gaza dapat dijalankan oleh pemerintahan sipil non-Hamas dengan tanggung jawab militer Israel, tanggung jawab militer secara keseluruhan,” kata Netanyahu seperti dikutip Reuters, Jumat (17/5/2024).
Para pejabat Israel mengatakan bahwa para pemimpin suku Palestina atau tokoh masyarakat sipil lainnya dapat direkrut untuk mengisi kekosongan, namun belum ada bukti bahwa ada pemimpin yang mampu atau bersedia menggantikan Hamas dan tidak ada negara Arab yang bersedia membantu.
Peneliti madya di Program Timur Tengah dan Afrika Utara Chatham House Yossi Mekelberg mengatakan Israel memiliki pilihan untuk mengakhiri perang dan menarik diri atau mendirikan pemerintahan militer di sana dan mengendalikan seluruh wilayah.
“Karena begitu mereka meninggalkan suatu wilayah, Hamas akan muncul kembali," ungkap Mekelberg.