China sedang mengerjakan program mata-mata maritimnya sendiri, yang dikenal sebagai Tembok Besar Bawah Laut, kata dua sumber dari Angkatan Laut AS kepada Reuters.
Sistem yang sedang dibangun itu terdiri dari kabel-kabel yang dilengkapi dengan sensor pendengaran sonar yang diletakkan di sepanjang dasar laut di Laut China Selatan. Berdasarkan sumber yang sama, China juga membangun armada drone laut bawah dan permukaan untuk mencari kapal selam musuh.
Upaya China meluas hingga ke Pasifik. Akademi Ilmu Pengetahuan China yang dikelola pemerintah mengatakan pada 2018 bahwa mereka mengoperasikan dua sensor bawah air, satu di Challenger Deep di Palung Mariana, dan satu lagi di dekat Yap, sebuah pulau di Negara Federasi Mikronesia.
Meskipun China mengatakan bahwa peranti ini digunakan untuk tujuan ilmiah, nyatanya mereka dapat mendeteksi pergerakan kapal selam di dekat pangkalan angkatan laut AS di Guam, sebuah wilayah kepulauan Pasifik. Baik Kementerian Pertahanan maupun Kementerian Luar Negeri China tidak menanggapi permintaan komentar mengenai hal ini.
Sementara itu, dorongan pengawasan Angkatan Laut AS didorong oleh tiga faktor utama, menurut tiga orang yang mengetahui langsung rencana tersebut.
Pertama, kebangkitan China sebagai kekuatan laut dan potensi kapal-kapal China dalam menyerang Taiwan atau menyabotase infrastruktur bawah laut yang penting, termasuk jaringan pipa minyak dan kabel internet serat optik.
Baca Juga
Kedua, keberhasilan Ukraina dalam menerapkan taktik perang maritim baru dalam serangan balasannya melawan invasi Rusia. Ukraina telah menggunakan kendaraan laut tak berawak yang relatif murah untuk menyerang kapal dan jembatan musuh.
Perkembangan ini telah mengungkap kerentanan kapal permukaan besar dari serangan pesawat tak berawak, dan perlunya Angkatan Laut AS menguasai teknologi ini untuk operasi serangannya sendiri, serta mempelajari cara untuk mempertahankan diri dari serangan tersebut. Hal ini, pada gilirannya, dapat meningkatkan pentingnya perang kapal selam dalam setiap konflik dengan China.
Terakhir, perubahan teknologi yang pesat, termasuk sensor bawah air yang lebih sensitif, kecerdasan buatan, dan drone laut, memicu perlombaan senjata pengawasan antara China dan AS.