Bisnis.com, JAKARTA - Orang-orang di Korea Utara mengatakan bahwa makanan sangat langka, sehingga warga terancam mati karena kelaparan.
Para ahli menyatakan bahwa situasi di negara paling terisolasi di dunia itu menjadi yang terburuk sejak 1990-an.
Pemerintah Korewa Utara menutup perbatasannya sejak 2020, dan menghambat pasokan vital, serta memperketat kendali atas kehidupan orang. Sementara itu, Pyongyang mengatakan bahwa pemerintahannya selalu memprioritaskan kepentingan warganya.
Organisasi Daily NK yang diam-diam mewawancarai 3 orang biasa di Korea Utara memberi tahu bahwa sejak penutupan perbatasan, mereka takut mati kelaparan atau dieksekusi karena melanggar aturan. Selain itu, Liberty di Korea Utara (LiNK) Sokeel Park mengungkap tragedi yang menghancurkan sedang berlangsung di negara itu.
Seorang wanita yang tinggal di Pyongyang memberitahu bahwa dia mengenal sebuah keluarga beranggotakan 3 orang yang mati kelaparan di rumahnya.
"Kami mengetuk pintu mereka untuk memberi mereka air, tapi tidak ada yang menjawab," kata Ji-yeon, nama samarannya, seperti dilansir dari BBC, pada Kamis (15/6/2023).
Baca Juga
Ketika pihak berwenang masuk ke dalam, mereka menemukan 3 orang itu telah meninggal. Nama Ji-yeon telah diubah untuk melindunginya, bersama dengan orang lain yang memberikan informasi itu.
Terpisah, seorang pekerja konstruksi yang tinggal di dekat perbatasan China Chan Ho, memberi tahu bahwa persediaan makanan sangat sedikit sehingga 5 orang di desanya telah meninggal karena kelaparan.
"Awalnya saya takut mati karena Covid-19, tapi kemudian saya mulai khawatir mati kelaparan," katanya.
Korea Utara tidak pernah mampu menghasilkan makanan yang cukup untuk sebanyak 26 juta penduduknya.
Saat menutup perbatasannya pada Januari 2020, pihak berwenang berhenti mengimpor biji-bijian dari China, serta pupuk dan mesin yang dibutuhkan untuk menanam makanan.
Negara itu juga telah membentengi perbatasan dengan pagar, sambil memerintahkan penjaga untuk menembak siapa saja yang mencoba menyebrang.
Hal ini membuat hampir tidak mungkin bagi orang untuk menyelundupkan makanan untuk dijual di pasar tidak resmi, tempat kebanyakan orang Korea Utara berbelanja.
Seorang pedagang pasar dari Utara negara itu, dengan nama samaran Myong Suk, memberi tahu bahwa hampir tiga perempat produk di pasar lokal dulunya berasal dari China, tetapi sekarang kosong.
Dia, seperti orang lain yang mencari nafkah dengan menjual barang-barang yang diselundupkan melintasi perbatasan, telah melihat sebagian besar pendapatannya hilang.
Dia memberi tahu bahwa keluarganya tidak pernah kekurangan makan, dan baru-baru ini orang-orang mengetuk pintunya meminta makanan karena mereka sangat lapar.
Ji-yeon dari Pyongyang memberi tahu bahwa dia pernah mendengar orang-orang bunuh diri di rumah atau menghilang ke gunung untuk mati, karena tidak bisa lagi mencari nafkah.
Dia mengatakan berjuang untuk memberi makan anak-anaknya. Suatu kali, dia pergi 2 hari tanpa makan dan mengira dia akan mati dalam tidurnya.
Adapun, Korea Utara mengalami kelaparan dahsyat yang menewaskan sebanyak 3 juta orang, pada akhir 1990-an.
Desas-desus kelaparan baru-baru ini dikuatkan oleh pengakuan tersebut, yang telah memicu kekhawatiran bahwa negara itu mungkin berada di ambang bencana lain.
Ekonom Korea Utara Peter Ward mengatakan kondisi di negara itu kini sangat memprihatinkan, dan sangat tidak bagus.
"Orang normal kelas menengah melihat kelaparan di lingkungan mereka, sangat memprihatinkan. Kita belum berbicara tentang keruntuhan masyarakat skala penuh dan kelaparan massal, tapi ini tidak terlihat bagus," katanya.
Direktur NKDB Hanna Song yang mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Korea Utara menyatakan setuju.
"Selama 10-15 tahun terakhir kita jarang mendengar kasus kelaparan. Ini membawa kita kembali ke masa tersulit dalam sejarah Korea Utara," lanjutnya.
Bahkan, pemimpin Korea Utara Kim Jong-un telah mengisyaratkan keseriusan situasi itu secara terbuka, merujuk pada krisis pangan sambil melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan produksi pertanian.
Meskipun begitu, dia memprioritaskan pendanaan program senjata nuklirnya, menguji rekor 63 rudal balistik pada 2022.
Satu perkiraan menyebutkan total biaya pengujian ini lebih dari US$500 juta (£398 juta) atau Rp7,4 triliun, lebih dari jumlah yang dibutuhkan untuk menebus kekurangan biji-bijian tahunan Korea.