Layaknya dalam peperangan, kekuatan udara sulit untuk digunakan di kota-kota yang penuh dengan penduduk sipil. Pada sisi lain, jumlah pasukan elite Afghanistan juga terbatas, ujar analis politik internasional CNN, Nick Paton Walsh seperti dikutip, Senin (9/8/2021).
Pasti sulit bagi para jenderal Afghanistan untuk mengetahui “titik api” mana yang harus dipadamkan. Hal itu terlihat ketika Taliban berhasil merebut Kunduz, kota besar Afghanistan pertama yang jatuh setelah penarikan pasukan AS membuat pertahanan kota itu rapuh.
Pada sisi lain, ada pula komplikasi lain yang mendesak. Amerika Serikat telah menegaskan, bahwa 18 hari dari sekarang, ketika penarikan semua pasukan internasional selesai. Dengan demikian, bantuan serangan udara akan berhenti, sehingga kekuatan pasukan akan digunakan secara terbatas, ujar Walsh.
Artinya, harapan akan kapasitas untuk memukul dengan cepat kekuatan Taliban pada menit-menit terakhir menjadi tipis, bahkan hilang sama sekali. Faktanya serangan Taliban sejak sepekan terakhir telah mengubah banyak peta kekuatan.
Dari sisi Amerika Serikat, Presiden Joe Biden terikat dengan janjinya untuk segera membawa pasukan AS pulang.
AS tidak menemukan lagi kenyamanan setelah menjalani perang terpanjangnya dalam sejarah, karena banyaknya anggaran yang harus dikeluarkan. Keluar dari Afghanistan menjadi satu-satunya pilihan, meski terkesan negara itu tidak gentleman, karena meninggalkan gelanggang perang dengan meninggalkan perang saudara.