Bisnis.com, JAKARTA -- China memiliki sejumlah cara menghadapi Amerika Serikat (AS). Status sebagai 'pusat manufaktur global' dan salah satu kunci supply chain atau rantai pasok global, membuat China berani melawan balik 'intimidasi ekonomi' oleh Presiden AS, Donald Trump.
Di sisi lain, upaya AS dan China yang masing-masing mulai menggalang aliansi, memicu kekhawatiran terhadap kemungkinan pecahnya 'Perang Dingin' baru. Perang dingin adalah suatu episode konflik geopolitik yang pernah terjadi antara AS dengan Uni Soviet.
Bedanya waktu itu, perang dingin dipicu oleh ekses perubutan pengaruh pasca Perang Dunia II. Muncul Blok Barat dan Blok Timur. Negara utama yang terlibat adalah AS dan Uni Soviet. Sementara saat ini, konflik terjadi antara AS dan China. Pemicunya adalah perang dagang dan upaya AS untuk membendung pengaruh ekonomi China.
Perang dagang memang memasuki fase yang cukup panas. Lebih brutal dibanding jilid pertama pada 2018-2020 lalu. Kedua negara saling berbalas tarif. Meski demikian China bergeming. Mereka belum mau mengikuti keinginan AS.
Trump tidak kehabisan akal. Tarif terus dinaikan. Dia juga berencana memaksa China ke meja perundingan, tidak hanya memakai instrumen tarif, tetapi dengan meminta negara mitra dagangnya yang tengah bernegosiasi tarif, untuk sementara mengisolasi China.
Baca Juga
Penasihat ekonomi utama Trump, misalnya, sebagaimana dilansir dari Bloomberg, bahkan dikabarkan sedang membahas permintaan kepada mitra dagang untuk menahan diri tidak menyerap barang-barang berlebih dari China. Namun konsesi lain terhadap China juga dapat diajukan.
Rencana itu juga diungkapkan seorang pejabat Meksiko yang memperkirakan AS akan meminta mereka untuk menaikkan tarif impor kendaraan listrik dari China. Sayangnya, Kementerian Ekonomi Meksiko menolak berkomentar. Sementara itu, Gedung Putih tidak segera menanggapi permintaan komentar tersebut.
Terlepas ada atau tidaknya rencana upaya 'mengisolasi China', langkah nekat Trump berpotensi memicu peningkatan eskalasi ketegangan. Perang dagang akan meluas antara AS dan sekutunya melawan China. Risikonya jauh lebih besar. Bencana ekonomi di depan mata. Rantai pasok global bakal terganggu dan resesi ekonomi akan terjadi.
Sementara itu, dari sisi geopolitik global, akan terjadi pembelahan antara negara-negara yang terpaksa satu kubu dengan AS melawan kubu China. Situasi itu mirip dengan Perang Dingin pasca Perang Dunia II.
Bisakah AS Cs Lepas dari China?
China merupakan penguasa perdagangan global. Barang-barang made in China telah membanjiri pasar internasional, tidak terkecuali AS.
Dominasi ekonomi China itu ditopang oleh gelontoran investasi ke mitra dagang, salah satunya one belt one road atau jalur sutra baru yang memungkinkan distribusi barang dari China mengalir cukup deras.
Data Customs China menunjukan volume perdagangan China mencapai US$6,16 triliun tahun lalu. Ekspor mencapai US$3,57 triliun dan impor sebesar US$2,58 triliun. Neraca perdagangan China surplus sebesar US$992,1 miliar.
Kinerja perdagangan China telah melampaui AS. Data dari Cencus.gov, total volume perdagangan AS pada tahun 2024 hanya senilai US$5,3 triliun. Angka ini terdiri dari ekspor sebesar US$2,06 triliun dan impor sebesar US$3,26 triliun.
Berbeda dengan China, neraca perdagangan AS defisit di angka US$1,2 triliun. Menariknya, China adalah negara penyumbang terbesar defisit neraca perdagangan AS yang tercatat US$295,4 miliar tahun lalu.
AS tercatat mengimpor barang made in China sebesar US$438,4 miliar tahun 2024. Angka ini mencakup 13,4% dari keseluruhan impor AS 2024 yang tercatat sebesar US$3,2 triliun. Defisit neraca perdagangan AS terhadap China mencapai US$294,5 miliar.
Xi Jinping Serukan Perlawanan
Tidak mau kalah dengan Trump, China juga mulai membangun aliansi untuk melawan intimidasi ekonomi yang dilakukan oleh Presiden AS, Donald Trump. Presiden China, Xi Jinping, bahkan menyerukan persatuan Asia untuk menolak kebijakan tarif Trump.
Xi telah mempromosikan gagasan tentang keluarga Asia dan menyerukan persatuan regional selama lawatannya ke 3 negara Asia Tenggara yakni Vietnam, Kamboja, dan Malaysia.
Seruan tersebut merupakan upaya nyata China untuk melawan tekanan AS. Adapun, AS sudah berupaya membatasi hubungan dagang dengan Beijing.
Xi Jinping menekankan solidaritas dalam pidatonya pada jamuan makan malam kenegaraan di Malaysia sehari sebelumnya, ketika kedua negara menandatangani berbagai kesepakatan sebagai tanda hubungan ekonomi yang semakin dalam.
"China dan Malaysia akan berdiri bersama negara-negara di kawasan itu untuk memerangi arus bawah konfrontasi geopolitik dan berbasis blok. Bersama-sama kita akan menjaga prospek cerah keluarga Asia kita," kata Xi di ibu kota administratif Malaysia, Putrajaya.
Dorongan diplomatik ini diperkuat oleh pernyataan bersama yang dirilis kedua negara. China dan Malaysia sepakat untuk meningkatkan kolaborasi di bidang industri, rantai pasokan, data, dan bakat. Mereka berkomitmen untuk melaksanakan Program Lima Tahun untuk Kerjasama Ekonomi dan Perdagangan serta membangun “komunitas strategis Malaysia-China tingkat tinggi.”
Dalam sindiran terselubung lainnya terhadap AS, Xi menegaskan kembali seruannya untuk melawan unilateralisme dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada Kamis di media Kamboja sebelum kedatangannya di ibu kota Malaysia.
“Bersama-sama kita harus melawan hegemoni, politik kekuasaan."
Trump Mulai Melunak?
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengisyaratkan kemungkinan berakhirnya aksi saling balas peningkatan tarif antara AS dan China yang mengejutkan pasar.
"Saya tidak ingin tarif naik karena pada titik tertentu Anda akan membuat orang tidak membeli," kata Trump kepada wartawan tentang tarif di Gedung Putih dikutip dari Reuters, Minggu (20/4/2025).
"Jadi, saya mungkin tidak ingin menaikkan harga lebih tinggi atau bahkan tidak ingin naik ke level tersebut. Saya mungkin ingin menurunkan harga ke level yang lebih rendah karena Anda tahu Anda ingin orang membeli dan, pada titik tertentu, orang tidak akan membeli."
Komentar Trump menunjukkan berkurangnya keinginan untuk mengenakan tarif yang jauh lebih tinggi secara menyeluruh pada puluhan negara setelah pasar bereaksi keras terhadap penerapannya pada 2 April.
Presiden dari Partai Republik itu mengenakan tarif sebesar 10% pada sebagian besar barang yang masuk ke negara tersebut tetapi menunda penerapan tarif yang lebih tinggi, sambil menunggu negosiasi.
Namun, dia menaikkan tarif impor China, yang kini mencapai 145%, setelah Beijing membalas dengan tindakan balasannya sendiri. Minggu lalu, China mengatakan tidak akan menanggapi permainan angka dengan tarif, yang merupakan sinyalnya sendiri bahwa tarif secara menyeluruh tidak akan naik lebih jauh.
Trump mengatakan China telah berkomunikasi sejak pengenaan tarif dan menyatakan optimisme bahwa mereka dapat mencapai kesepakatan.
Meski kedua belah pihak masih berkomunikasi, beberapa sumber mengatakan bahwa pertukaran pendapat tingkat tinggi yang mengalir bebas yang akan mengarah pada kesepakatan sebagian besar belum ada.
Berbicara dengan wartawan, Trump berulang kali menolak untuk menyebutkan sifat pembicaraan antara kedua negara atau apakah pembicaraan tersebut secara langsung melibatkan Presiden China Xi Jinping.