Bisnis.com, JAKARTA - Mantan Sekretaris Menteri Badan Usaha Milik Negara Said Didu menilai rencana pemenuhan kebutuhan alat peralatan pertahanan dan keamanan senilai Rp1.760 triliun, tidak masuk akal.
Menurutnya, angka yang tertuang dalam rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia Tahun 2020-2024 (Alpalhankam) itu menjadi masuk akal jika merupakan anggaran lintas pemerintahan.
“Angka ini saya duga kemungkinan besar adalah angka lintas pemerintahan. Tapi perlu saya ingatkan tidak boleh suatu pemerintahan membuat angka lintas pemerintahan kecuali lewat undang-undang,” ujarnya, dikutip dari YouTube MSD, Senin (31/5/2021).
Artinya, sambung Said, suatu pemerintahan tidak boleh ‘menitipkan’ pekerjaan untuk diselesaikan pemerintahan berikutnya kecuali sudah tertuang dalam undang-undang tepatnya Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).
Dia juga mengkritisi penunjukkan PT Teknologi Militer Indonesia (TMI) yang dikabarkan berada di balik pengadaan alutsista tersebut.
Said menyebut PT TMI yang ditetapkan di bawah sebuah yayasan adalah berstatus swasta, meskipun yayasannya didirikan Kementerian Pertahanan.
“Undang-undang TNI dan Polri menyatakan bahwa tidak boleh TNI dan Polri berbisnis secara baik langsung maupun tidak langsung,” ungkap Said Didu.
Dia menyarankan Kementerian Pertahanan menunjuk salah satu BUMN dalam melakukan negosiasi langsung alih teknologi militer atau pengadaan alutsista tersebut.
Sebelumnya, Pengamat Militer Connie Rahakundini Bakrie juga mempertanyakan rencana pemerintah terkait pemenuhan kebutuhan alpalhankam yang setara US$142 miliar itu.
“Pertanyaan saya anggaran pertahanan sebesar ini, dalam tiga tahun kita mau beli apa?" katanya dikutip dari akun YouTube Akbar Faisal beberapa waktu lalu.
Menanggapi polemik tersebut, Juru Bicara Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Danhil Anzar Simanjuntak menyampaikan klarifikasi. Dahnil juga memastikan bahwa dokumen Perpres yang beredar belum menjadi keputusan final.
“Raperpres adalah dokumen perencanaan dalam pembahasan dan pengujian mendalam, bukan dan belum menjadi keputusan final," kata Dahnil dalam pernyataan resmi, Senin (31/5/2021).