Kabar24.com, JAKARTA — Studi American Enterprise Institute (AEI) pada 30 April berjudul Promise and Peril: The History of American Religiosity and its Recent Decline menyatakan bahwa agama merupakan elemen vital bagi orang AS sejak masa koloni Inggris.
Memang studi itu menunjukkan pula bahwa sejak 1960-an religiusitas di negeri adidaya tersebut melemah karena sejumlah faktor. Menurut perkiraan penulis kajian, pada 1960 sebanyak 50% orang AS menghadiri ibadah hampir tiap minggu, tetapi jumlahnya tinggal 35% pada 2018. Pada kurun yang sama, keanggotaan warga AS di organisasi keagamaan merosot dari 75% menjadi 62%.
Meski kelihatan kecil, angka-angka itu lebih tinggi dari negara maju seperti Prancis, Inggris, dan Belanda.
Dengan metode yang berbeda, lembaga riset Pew Research Center menemukan pada 2014 bahwa 77% orang AS terafilisasi dalam kelompok religius, 89% percaya kepada Tuhan, dan 69% menghadiri seremoni ibadah beberapa kali dalam setahun. Adapun, survei Gallup berturut-turut menemukan angka 76%, 87%, dan 68% untuk tiga parameter tersebut.
AEI juga memperlihatkan kesadaran religius orang AS meningkat dalam situasi genting. Sebagai contoh, keanggotaan gereja meningkat selama Perang Dunia II.
Saat ini, AS menghadapi krisis bernama pandemi COVID-19 sebagaimana negara lain di seluruh dunia. Presiden Trump beberapa kali bilang bahwa wabah tersebut ujian terberat AS setelah Perang Dunia II.
Pada masa pandemi, ketika rumah ibadah masih ditutup, survei mendapati kekuatan iman sebagian warga AS meningkat. Pew Research Center di situs resminya melaporkan 24% orang AS mengalami peningkatan iman karena wabah virus corona.
Survei 20-26 April itu juga menemukan hanya 2% yang menjadi ‘lemah iman’ gara-gara corona. Mayoritas penduduk setempat, sebanyak 47%, mengaku imannya stagnan alias tidak naik atau turun di masa pandemi.
Golongan orang yang rajin beribadah paling banyak mengalami peningkatan iman. Namun, di kalangan orang malas beribadah pun terdapat 11% yang mengakui bertambah imannya.
“Bahkan di antara orang-orang yang tidak terlalu religius, sangat sedikit yang mengatakan iman mereka melemah,” kata peneliti Pew Research Center Claire Gecewicz.
Peningkatan kadar keimanan di negara terpolarisasi seperti AS mungkin bisa dimaknai secara berbeda. Apalagi, bila keimanan akhirnya menjadi parameter sikap politik dalam mendukung calon presiden.