Malaysia memang mempraktikkan demokrasi parlementer. Para anggota parlemen yang merupakan kelompok mayoritas pendukungnya di Majelis Rendah telah memberi mandat kepada Mahathir untuk membentuk pemerintahan.
Setelah pemilihan umum bersejarah pada tahun lalu, koalisi partai Pakatan Harapan (PH) yang terdiri dari partai Bersatu pimpinan mantan deputi perdana menteri Anwar Ibrahim dan Parti Keadilan Rakyat pimpinan Mahathir telah memenangkan mayoritas parlemen. Mahathir pun dipercaya oleh koalisi itu untuk memempati posisi puncak di pemerintahan.
Hal itulah yang membuat Mahathir menjadi tokoh kunci suksesi politik Malaysia terlepas dari laporan bahwa tawaran untuk membentuk pemerintahan pertama kali sebenarnya diberikan kepada Wan Azizah, istri Anwar.
Maklum, ketika menjelang pemilu Wan Azizah merupakan Presiden Partai Keadilan yang suaranya lebih banyak dari partai Bersatu pimpinan Mahathir.
Akan tetapi, sebagai pemimpin partai dengan kursi parlemen paling banyak, dia lebih memilih mendukung Mahathir dan kemudian menjadi wakil perdana menteri.
Sebuah fakta bahwa Partai Bersatu menguasai jumlah kursi parlementer paling sedikit di Pakatan. Akan tetapi, koalisi telah menghadirkan Mahathir sebagai perdana menteri yang menunjukkan bahwa partai-partai komponen Pakatan telah bersepakat sebelum pemilihan umum.
Artinya, jika mereka memperoleh kekuasaan, Mahathir akan menjadi pemimpin Malaysia setelah koalisi Barisan Nasioanl kalah di pemilu.
Mahathir kemudian disepakati akan mundur dan berbagi kekuasaan dengan Anwar. Akan tetapi, soal waktu transisi kekuasaan kemudian menjadi spekulasi yang belum terjawab.
Apakah Mahathir akan berkuasa selam dua tahun sejak dilantik pada 10 Mei 2018 atau lebih, masih menjadi pertanyaan.