Bisnis.com, BOGOR - "Jamu.. Jamu.. Ayo, yang mau sehat minum jamu, kalau mau pintar baca buku." Kalimat tersebut berulang-ulang dilontarkan oleh Kiswanti sambil keliling menggowes sepeda. Ia hanya tamatan sekolah dasar dan pernah juga mengadu nasib ke Filipina.
Uang yang dikumpulkan olehnya dari Filipina dipakai untuk modal usaha jamu. Kemampuan meracik jamu diperoleh dari resep turun temumun keluarga. Saat menjual jamu, dia sering menghibur anak-anak yang minum jamu dengan cerita bersambung, dongeng dan legenda yang pernah dibacanya dan diceritakan oleh ayahnya kepada anak-anak yang meminum jamu.
Anak-anak yang mendengar cerita Kiswanti selalu menanti-menanti kehadirannya. Maka, dia pun mulai membawa beraneka buku cerita untuk dibagikan kepada anak-anak. Nyatanya, tidak semua anak-anak bisa membaca.
Perjuangan ini dimulai pada 1997. Perlahan tapi pasti dan tanpa dia sadari, aktivitas mengajari membaca kepada anak-anak disekitarnya telah menimbulkan minat baca yang cukup kuat. Hanya berbekal ilmu dari bangku sekolah dasar dan tekad, maka uang dari menjual jamu dikumpulkan untuk membeli buku.
Setiap kali keliling menjual jamu, buku yang dibawa sekitar 30-50 buku. Kiswanti tidak meminjamkan buku kepada sembarang orang, sebab ia akan sangat sedih bila buku sobek dan tidak dikembalikan. Dia selalu mencari orang-orang yang amanah untuk meminjamkan buku.
Karena jumlah buku masih dirasakan kurang dan ingin memberikan hadiah kepada anak-anak yang rajin membantu orang tua. Maka Kiswanti pun melakukan puasa setiap awal bulan selama 10 hari. Harapannya, uang makan sekitar Rp3.000 per hari, bila dikalikan 10 hari maka bisa terkumpul Rp30.000 per bulan. Dalam benaknya, bila dalam setahun, uang hasil puasa bisa mencapai Rp360.000.
Namun, nasib berkata lain. Saat puasa berlangsung selama beberapa tahun, rasa lelah Kiswanti datang lebih cepat dari biasanya. Karena hampir tak sadarkan diri, maka dia langsung dilarikan ke rumah sakit dan divonis dokter menderita sakit liver.
"Ini sangat tidak bagus dengan kesehatan saya. Saya sudah merasa sakit sejak 2001 dan puncak sakit ada 2005. Namun, yang saya lakukan selama ini tidak sia-sia, karena saat saya terpuruk dan terbaring, setiap hari tetangga saya ditengok tetangga dan jemaah yang jauh," ungkap Kiswanti dengan suara bergetar, sambil menyeka air mata di balik kacamata.
Ketulusan Kiswanti untuk menuntaskan buta huruf dan meningkatkan pengetahuan melalui perpustakaan kini diguguh orang-orang di sekitarnya. Sumbangan buku hingga materipun diterima untuk mengembangkan perpustakaan di rumahnya.
Kiswanti mendirikan Warung Baca Lebakwangi di Parung Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Nasional, persentase penduduk buta huruf pada 2011 untuk usia di atas 15 tahun sekitar 4,39%, untuk usia 15-44 tahun dan di atas 45 tahun di atas 11%.
Lalu pada 2018, persentase penduduk buta huruf di Jawa Barat pada usia di atas 15 tahun sekitar 1,52%, 15-44 tahun dan 45 tahun ke atas masing-masing 0,26% dan 3,9%. Pada 2011-2018 terdapat penurunan buta huruf di Jawa Barat untuk usia di atas 15 tahun hingga 2,87%.
Buta Aksara
Di sisi lain, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencatatkan sekurangnya ada 7.800 taman baca masyarakat di Indonesia, dengan sebaran paling banyak berada di Pulau Jawa.
Direktur Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan (Direktur Bindiktara) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Abdul Kahar mengungkapkan, jumlah taman baca masyarakat (TBM) yang tertera dalam donasi buku sebanyak masih 4.042 unit, sedangkan jumlah yang tercatat sudah mencapai 7.800 unit.
Maraknya pengenalan taman baca masyarakat bertujuan untuk mengentaskan buta aksara dan meningkatkan literasi baca tulis. Menurutnya, literasi tersebut tak hanya sekadar upaya suatu bangsa bebas dari buta aksara saja, lebih penting dari itu adalah upaya suatu bangsa memiliki kemampuan hidup agar mampu bersaing bahkan melampaui bangsa lain yang lebih maju untuk menciptakan kesejahteraan dunia.
Tercatat pada 2015 lalu angka buta aksara di Indonesia mencapai 5,9 juta jiwa dari total penduduk sekitar 260 juta jiwa. Namun, pada 2018 angka tersebut menurun menjadi 3,3 juta jiwa yang belum melek aksara. Pada tahun ini, pemerintah menargetkan adanya penurunan jumlah buta aksara di beberapa daerah kantong buta aksara.
Abdul menuturkan, seseorang dapat dikatakan melek aksara bila menjalankan empat hal. Pertama, dapat membaca dan menulis bahasa Indonesia minimal 3 kalimat sederhana. Kedua, mampu menceritakan dalam tulisan tentang dirinya, lingkungannya, aktivitasnya dan menjelaskan gambar.
Ketiga, dapat melakukan operasi perhitungan tambah, kurang, kali dan bagi minimal dua digit dan keempat mampu mengoperasikan tambah dan kali dalam perhitungan uang, berat, jarak, isi dan waktu.
Abdul mengungkapkan, Kemendikbud memiliki program khusus untuk pelaksanaan pemberantasan buta aksara yang dinamai keaksaraan dasar dan keaksaraan lanjutan. Ada juga dua program untuk menjaga aksarawan baru tetap mengenal huruf melalui program multi keaksaraan dan keaksaraan usaha mandiri.
Implementasi multi keaksaraan dan keaksaraan usaha mandiri memiliki peran masing-masing di masyarakat. Bagi peserta multi keaksaraan bakal diberikan program untuk mendukung 6 literasi dasar, meliputi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewarganegaraan.
Untuk keaksaraan usaha mandiri, maka akan dilakukan dengan pendekatan wirausaha agar segala yang dipelajari aksarawan baru fungsional bagi kehidupan sehari-harinya. Selain mengandung unsur fungsional, maka sekaligus memiliki unsur pembelajar dan akrab terhadap baca tulis. Seperti cara menjahit dan beternak unggas.