Kabar24.com, SITUBONDO -- Saksi ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Noer Fauzi Rachman, PhD meminta majelis hakim di Pengadilan Negeri Situbondo, Jawa Timur, tidak menggunakan UU No. 18 Tahun 2013 yang mengatur mengenai penebangan hutan.
"Penggunaan UU ini tidak tepat. Harusnya untuk penggunaan UU ini ada sekelompok orang yang secara bersama-sama menebang hutan," katanya saat menjadi saksi ahli sidang di Pengadilan Negeri Situbondo, Senin (30/3/2015).
Sempat terjadi adu argumen cukup panjang ketika Noer Fauzi mengatakan bahwa kalau memang benar terjadi pencurian di dalam kasus itu, maka UU yang digunakan seharusnya UU pidana biasa.
Saat itu hakim ketua I Kadek Dedy Arcana juga mempertanyakan bagaimana definisi perorangan dalam UU No. 18 Tahun 2013 tersebut.
Namun Noer Fauzi yang ahli dalam politik agraria itu bersikukuh dalam kasus Asyani tidak ada unsur penebangan hutan.
Ia menjawab harus ada penetapan kriteria terlebih dahulu mengenai kerusakan hutan oleh tim dari Kementerian Kehutanan.
Ia juga menjelaskan bahwa semangat dari UU itu bukan untuk menjerat pencurian perorangan.
Akhirnya disimpulkan bahwa yang dilihat dalam penerapan UU penebangan hutan itu motifnya, yakni menebang hutan secara massif dan terorganisir.
UU itu dibuat dengan niat untuk mencegah kerusakan hutan.
Ketika hakim menanyakan bagaimana dampaknya jika orang per orang dijerat dengan pidana biasa nantinya dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan hutan yang lebih luas, Noer Fauzi tetap bersikukuh bahwa untuk kasus Asyani tidak tepat menggunakan UU itu.
Sementara saat jaksa penuntut umum hendak mengajukan pertanyaan, pengacara Asyani mengaku keberatan karena hal itu sudah ditanyakan oleh majelis hakim.
Namun majelis hakim tetap mempersilakan jaksa mengajukan pertanyaan.
Sidang kali ini menghadirkan dua saksi ahli dari pihak Asyani, yakni mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Dr Achmad Sodiki dan Noer Fauzi.